Mudabicara.com_ Partisipasi politik generasi muda tampaknya telah menjadi arena yang cukup menyibukkan para politisi. Selain karena jumlah mereka hampir mencakup seperempat populasi penduduk di Indonesia, mereka juga mewakili masa depan masyarakat—dan mudah-mudahan, demokrasi.
Lebih lanjut, selaku generasi yang paling berkembang dalam penggunaan internet, dan bahwa peran media digital melaju signifikan dalam menyebarluaskan wacana politik, kaum muda menjadi semakin menggiurkan bagi politisi-politisi yang hendak mendulang suara (Dahlgren, 2011).
Kendati begitu, kaum muda kita tampaknya sudah terlanjur hanyut dalam arus zaman. Mereka cenderung tunduk pada peningkatan individualisasi, terjebak dalam kebingungan era post-truth, dan lebih peduli terhadap pop culture daripada isu-isu politik konvensional (Farthing, 2010).
Baca Juga : Strategi Pemuda Wujudkan SDGs: Komunitas Penggerak Perubahan
Kalaupun mereka terlibat dengan isu politik, sifatnya sering begitu dangkal (slacktivism) karena didorong oleh sudut pandang politik yang terisolasi (echo chamber).
Faktanya, cukup ironis bahwa mayoritas aktor politik berupaya memperoleh perhatian mereka, tetapi kaum muda sendiri cenderung menjauhkan diri dari citra-citra politis.
Transformasi Format Politik
Berdasarkan situasi itu, saya berargumen bahwa transformasi format politik yang disesuaikan dengan perkembangan zaman akan turut meningkatkan partisipasi kaum muda, entah nantinya disadari secara politis ataupun tidak.
Politik dan institusinya harus berubah dalam merespons situasi, sementara kaum muda juga harus terus berupaya untuk perubahan dan mengadvokasi keterlibatan mereka. Hanya melalui jalan inilah, keterputusan demokrasi dapat diatasi secara substansial.
Politik adalah perkara yang rumit. Secara genealogis, politik dimaksudkan untuk membahas bagaimana manusia mesti hidup bersama sambil mengelola polis.
Sebagaimana diungkapkan Aristoteles bahwa manusia adalah zoon politicon, manusia mengaktualisasikan dirinya dan berfungsi optimal dalam kebersamaan dengan manusia lain.
Politik adalah implikasi dari kehidupan bersama. Karena berkaitan erat dengan kekuasaan, politik lalu menjadi fungsi pengaturan: siapa mendapat apa, kapan mereka mendapatkannya, dan bagaimana caranya (Lasswell, 1972).
Baca Juga : Meneguhkan Peran Pemuda sebagai Penyambung Lidah Masyarakat
Alhasil, bagaimanapun juga, politik sangat memengaruhi kualitas hidup semua orang. Kita pun seharusnya tidak membiarkan politik diculik oleh orang-orang yang miskin perasaan dan pengetahuan tentang apa yang mungkin menjadi kebaikan kolektif.
Dalam arti ini, demokrasi, agak mengejutkan, adalah sesuatu yang menuntut. Hal ini menuntut orang, khususnya generasi muda, untuk menaruh minat pada isu-isu politik yang sering kali kompleks dan tampak jauh dari keseharian, serta menuntut kita untuk menahan kesimpulan ketika menilai isu-isu ini—terutama dengan tidak menginjak-injak kelompok minoritas, bahkan ketika kita punya kekuasaan untuk melakukannya.
Mungkin sulit untuk melakukan ini dan merasa lebih baiknya kita menyerahkan keputusan politik kita kepada mereka yang mewakili kita. Namun, seperti yang diperingatkan John Locke, kita akan rentan dimangsa oleh singa-singa yang memerintah kita.
Persoalannya, kaum muda kita tampak semakin terasing dari politik konvensional dan semakin apatis secara politik. Mereka tidak lagi dipandang sebagai aktivis potensial yang turun ke jalan, seperti pada tahun 1998, atau sebagai informed voters dan oposisi rezim yang kritis.
Dari tahun ke tahun, mereka agaknya sekadar menjadi “kartu AS” yang dikeluarkan saat situasinya sudah sangat mendesak; sedangkan di luar itu, peranan mereka dianggap tidak dapat diandalkan karena terlalu mengedepankan letupan emosional dan bukannya tindakan rasional.
Secara ringkasnya, mereka sering hanya menjadi objek daripada subjek; mereka dibicarakan secara intens dalam perdebatan politik karena mereka cukup dominan secara demografis, dan ini bermanfaat untuk mendulang suara.
Di sisi lain, kaum muda itu sendiri cenderung apatis terhadap politik dan tidak banyak menanggapi tindakan-tindakan para politisi atas mereka (Wallace, 2003).
Apatisme Politik Anak Muda
Penyebab apatisme kaum muda terhadap politik, dalam analisis saya, bukanlah sepenuhnya kesalahan mereka. Demokrasi kita, seperti yang dipraktikkan saat ini, memberikan insentif yang sangat kecil kepada kaum muda untuk memperoleh pengetahuan dan/atau keterampilan politik.
Mereka hanya diminta untuk membuat pilihan partai setiap lima tahun sekali, dan mereka tidak perlu tahu banyak tentang politik guna membuat keputusan semacam itu.
Baca Juga : 10 Manfaat Belajar Politik Untuk Anak Muda
Jika kondisinya terus begini, yang perlu diperiksa adalah tatanan demokrasinya, bukan generasi mudanya; sebab untuk mengharapkan pemilih yang melek politik (informed voters), demokrasi harus menyajikan informasi yang benar dan inklusif.
Paradoksnya, dunia yang berubah di mana kita sekarang hidup tampaknya menawarkan begitu banyak, namun secara kasar membiarkan kaum muda berada di ujung tanduk, ragu apakah mereka berada dalam situasi yang menguntungkan atau tidak. Toh masa depan mereka sedang dipertaruhkan oleh tindak-tanduk kita semua.
Berkat kemajuan peradaban yang mengesankan, mereka dapat menjalani kehidupan dengan lebih mudah daripada generasi sebelumnya, tetapi seiring itu mereka juga dihantui oleh suramnya masa depan dari berbagai dimensi.
Akibatnya, kaum muda sekarang dipaksa untuk berpaling ke dalam— kepada diri mereka sendiri—untuk menanggapi ketidakpastian dan risiko besar terkait dengan gentingnya kehidupan modern (Kennelly dkk., 2009).
Tidaklah mengherankan bila kemudian perkara-perkara politik semakin diabaikan, dan mereka memilih untuk berfokus pada kepastian diri mereka sendiri—utamanya soal pendidikan dan karier.
Bersamaan dengan itu, lagi-lagi paradoks, sementara kaum muda cenderung melepaskan diri dari politik konvensional, mereka juga tampaknya lebih cenderung memiliki gagasan idealis tentang seperti apa dunia seharusnya, kondisi bagaimana yang diharapkan akan terjadi.
Sosial Media dan Politik
Mengapa bisa begini? Munculnya situs jejaring sosial yang populer—seperti Twitter, Instagram, dan, baru-baru ini, TikTok—membuat kaum muda sering dapat membangun rasa komunitas mereka sendiri melalui internet (Giugni & Grasso, 2021).
Dengan kata lain, masifnya penggunaan ruang digital telah menyediakan format baru bagi kaum muda untuk terlibat dalam persoalan publik di mana ini merupakan ranah utama politik.
Tetapi tentunya, tujuan keterlibatan mereka tidak secara langsung dimaksudkan untuk partisipasi politik, melainkan demi kehidupan mereka sendiri; mereka beraspirasi dan beradvokasi di dunia digital sejauh itu berkaitan dengan kehidupan mereka sendiri.
Baca Juga : Sistem Politik, Pengertian dan Macam-macamnya
Secara pragmatis, ini tidak ada bedanya: entah mereka berniat untuk politis ataupun tidak, hal terpentingnya adalah mereka turut terlibat dalam berbagai keputusan politik apalagi pemerintah sudah menganggap dunia digital sebagai ruang diskursus baru yang kerap menentukan isi kebijakan.
Gagasan demikian bukanlah pengandaian semata, tetapi dilandasi oleh banyak kasus yang belakangan mencuat. Sebagai contoh, beberapa bulan lalu sempat muncul isu bahwa Jaminan Hari Tua (JHT) baru bisa dicairkan bila orang bersangkutan sudah berusia 56 tahun atau batas usia pensiun (Kompas.com, 2022).
Namun, setelah kebijakan ini heboh di dunia maya, yang pada gilirannya memantik aksi demonstrasi di jalanan, Kemnaker kemudian membatalkannya dan kembali pada regulasi semula.
Berbarengan dengan itu, manakala isu penundaan pemilu 2024 terus menjadi headline media massa, perdebatan dan perbincangan tentangnya yang meluas di dunia digital akhirnya menekan pemerintah untuk mengkonfirmasi bahwa pemilu 2024 tidak akan ditunda.
The Power of (young) Netizens
Inilah the power of (young) netizens; ketika turun ke jalan sudah dirasa menjenuhkan, aktivisme digital menjadi alternatif. Kedua-duanya, soal efektivitas, hampir sama kuatnya.
Dengan konteks demikian, kaum muda tidak dapat dikatakan malas, anti, atau terputus dari perubahan sosial-politik. Sebaliknya, sebagian dari mereka ingin terlibat dalam perubahan positif terkait komunitas mereka, bahkan dunia.
Namun, pada saat yang sama, mereka biasanya tidak memandang politik sebagai cara yang efektif untuk melakukan itu. Bagi mereka, sistem politik yang ada sudah rusak dan membosankan, dengan demikian tidak efek- tif (Lawless & Fox, 2015).
Baca Juga : Apa Itu Arti Demokrasi Langsung? Pengertian Dan Ciri-cirinya
Inilah mengapa sejumlah penelitian penting menunjukkan bahwa cara kaum muda tertarik untuk terlibat secara online biasanya tidak sejalan dengan kebijakan partisipasi dari pemerintah (Pruitt, 2017).
Dengan kata lain, semakin banyak situs yang dikelola dan dikendalikan pemerintah, semakin kecil kecenderungan kaum muda untuk terlibat di dalamnya—meskipun tujuannya adalah membuka ruang partisipasi.
Kaum muda sudah hilang kepercayaan pada aktor politik arus utama dan ingin dianggap serius sebagai produsen dan mitra dalam proses “musyawarah online”, bukannya objek yang diurusi oleh otoritas (Farthing, 2010).
Dalam proses mensintesis apa yang kita ketahui tentang keterlibatan kaum muda, kita dapat membuat pilihan tentang hasil apa yang diinginkan dan bagaimana memeliharanya.
Dengan begitu, muncul dua skenario berbeda untuk keterlibatan kaum muda di masa sekarang dan masa depan.
Skenario pertama terjadi jika kita gagal untuk menjembatani paradigma zaman dan subjek, sehingga kondisi default tetap bertahan dan kaum muda akan terus-menerus terputus dari politik konvensional.
Hasilnya, kualitas politik secara keseluruhan akan stagnan, bahkan menurun; toh kalaupun ada keterlibatan dari kaum muda, wujudnya sering sebatas action bias.
Skenario kedua memanfaatkan kemungkinan konvergensi teknologi dan praktik politik untuk membawa pengalaman politik yang dinamis bagi kaum muda, sehingga mereka bisa mendapatkan kesan bahwa kepeduliannya turut memperoleh suara publik dalam arena konvensional kekuasaan dan pengambilan keputusan (Bennett, 2007). Mereka merasa diperlukan; mereka terlibat secara demokratis, terlepas mereka menyadarinya atau tidak.
Baca Juga : Sistem Pemerintahan Demokrasi, Pengertian dan Ciri-Cirinya
Demikianlah, kebijakan partisipasi kaum muda perlu ditopang oleh multiplisitas dan pluralisme, termasuk cara bersenang-senang dan tindakan individual yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi sosial dan individu (Collin, 2015).
Kaum muda, dengan demikian, mempunyai peran ganda yang fundamental bagi demokrasi kontemporer: selain menjadi in- formed voters karena banyak bergumul dengan isu-isu publik di dunia digital. Mereka juga memerankan digital activism—mendorong dan menekan aspirasi tertentu yang kemudian memengaruhi substansi keputusan politik.
Pada akhirnya, kaum muda adalah pusat metrik eksistensial baru kehidupan modern di seluruh dunia, utamanya bagi tatanan politik di Indonesia. Hubungan mereka dengan politik tentunya sangat kompleks dan sering bermasalah.
Mereka kerap dianggap sebagai pertanda “anti-politik” dari stagnansi demokrasi Indonesia, sementara secara bersamaan digembar- gemborkan sebagai pencipta bentuk-bentuk politik baru yang lebih canggih, terutama dalam dunia digital.
Atas dasar itulah, saya menyimpulkan bahwa decision makers harus belajar dari pengalaman hidup sehari-hari kaum muda hari ini, dan menggunakan pengetahuan itu untuk merespons dengan lebih baik—bekerja dengan realitas kaum muda daripada melawan mereka.
Selain itu, mereka juga dapat didorong untuk memperoleh keterampilan tambahan yang secara aktif memungkinkan pembentukan suara publik, baik dalam jaringan sosial mereka maupun dalam konteks politik yang lebih eksplisit.
Mereka mungkin benar dalam merasakan bahwa politik di Indonesia adalah permainan orang-orang yang membutuhkan uang dan koneksi untuk terjun ke dalamnya, dan itu berarti bukan untuk mereka.
Baca Juga : Sistem Politik Demokrasi, Pengertian, Macam dan Ciri-cirinya
Namun, peluang untuk menerapkan tekanan politik yang cukup besar untuk reformasi sekarang telah tersedia melalui jaringan media digital. Karenanya, jaringan tersebut dapat didekasikan, meski tidak sepenuhnya, untuk tugas reformasi politik.
Mereka pun lalu memikul peran ganda: informed voters dan digital activism. Dengan begitu, slogan “the power of (young) netizens”, meskipun selama ini hanya dijadikan ekspresi candaan, dapat menjadi partisipasi politik dalam format yang baru—dan sekaligus kekinian.