Haji di Persimpangan Jalan: Tantangan Kemenhaj Semakin Terang

Esai13 Dilihat

Mudabicara.com_Oleh: Mahfut Khanafi, M. Sos (Direktur Nusantara Impact Center/Ketua Umum PB HMI 2023-2025)

Haji adalah puncak spiritual bagi umat Muslim. Ia adalah bagian dari rukun Islam yang wajib dijalankan. Haji adalah ibadah yang menuntut keikhlasan, kesabaran, dan kerendahan hati. Namun, bagi banyak jemaah di Indonesia, perjalanan menuju Tanah Suci justru dimulai dari ruang-ruang yang jauh dari kesucian: meja transaksi, jalur informal, dan praktik rente yang dibungkus bahasa pelayanan. Di titik inilah niat suci bertemu realitas bisnis, dan bahkan mafia yang kerap menciderai makna dari ibadah itu sendiri.

Istilah mafia haji bukan sekadar retorika. Ia bekerja melalui pola-pola praktik yang berulang dan sistemik. Pertama, permainan kuota dan antrean. Di tengah daftar tunggu yang bisa mencapai puluhan tahun, muncul “jalan pintas” bagi mereka yang mampu membayar lebih atau memiliki akses ke jaringan tertentu. Antrean yang seharusnya berbasis keadilan administratif berubah menjadi komoditas yang bisa dinegosiasikan secara diam-diam.

Kedua, percaloan biro dan sub-agen. Jemaah sering dihadapkan pada rantai agen berlapis, dari yang resmi hingga semi-ilegal. Biaya membengkak di setiap lapisan, sementara tanggung jawab menguap saat masalah muncul. Ketika keberangkatan tertunda atau fasilitas tidak sesuai janji, jemaah dipingpong tanpa kejelasan, karena kontrak dan informasi sengaja dibuat kabur.

Baca Juga: Nusantara Impact Center Selenggarakan Dialog Publik Moderasi Beragama di Kampus IIMUS

Ketiga, mark-up layanan dan paket “khusus”. Permainan dimulai dari pengadaan hotel, transportasi, konsumsi, hingga layanan ibadah dikemas dalam narasi kenyamanan dan kekhusyukan, tetapi sering kali tidak sebanding dengan harga yang dibayar. Jemaah diposisikan sebagai konsumen pasif yang “tidak enak bertanya”, karena khawatir niat ibadahnya dianggap tercemar oleh urusan duniawi.

Pola-pola ini tidak berdiri sendiri. Ia tumbuh subur karena kolusi antara pelaku bisnis dan aktor dalam sistem, baik melalui pembiaran, konflik kepentingan, maupun lemahnya pengawasan. Di sinilah mafia bekerja: bukan selalu dengan kekerasan, tetapi dengan akses, relasi, dan informasi yang tidak dimiliki jemaah biasa.

Realitas ini makin problematis ketika kita mengingat bahwa penyelenggaraan haji di Indonesia pernah tersandung kasus korupsi. Dana dan kewenangan yang seharusnya digunakan untuk melindungi jemaah justru diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan politik. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa korupsi haji bukan anomali, melainkan konsekuensi dari tata kelola yang membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan. Ketika uang umat dan kuota ibadah diperlakukan sebagai sumber rente, maka pasar dan mafia bertemu dalam satu kepentingan: keuntungan.

Nilai Dugaan Korupsi Pengelolaan Dana Haji 2025 Berdasarkan Investigasi Indonesia Corruption Watch (Agustus 2025)

Baca Juga: Dialog Publik IIMUS Tekankan Nilai Toleransi dan Moderasi Beragama

Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) terang benderang. Lembaga pengawas anti rasuah ini mengungkap tiga persoalan utama yang menimbulkan dugaan korupsi dalam pengelolaan dana haji Indonesia tahun 2025, yakni potensi persaingan usaha tidak sehat dalam penunjukan penyedia layanan masyair di mana dua dari delapan penyedia dimiliki satu individu yang menguasai kontrak senilai Rp 667,58 miliar atau 33% dari total Rp2,02 triliun dan diduga melanggar UU Antimonopoli. Kemudian dugaan pengurangan spesifikasi konsumsi jemaah yang tidak sesuai gramasi kesepakatan sehingga berpotensi merugikan negara hingga Rp255,18 miliar, serta dugaan pemerasan atau pungutan ilegal dalam pengadaan katering sebesar sekitar Rp10.000 per jemaah per hari yang jika terjadi pada seluruh jemaah dapat menimbulkan kerugian Rp51,03 miliar; atas temuan ini, ICW telah melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mendesak penindakan serta pembongkaran seluruh aktor yang diduga terlibat.

Kementerian Baru dan Tantangan Pembenahan

Di titik ini, dilema moral menjadi terang. Haji, yang seharusnya menjadi ruang egaliter, di mana semua mengenakan ihram yang sama justru mencerminkan ketimpangan struktural. Mereka yang punya uang dan koneksi memperoleh kemudahan, sementara jemaah kecil harus bersabar dalam sistem yang tidak transparan. Pasar bukan lagi sekadar alat penyelenggaraan, tetapi penentu akses terhadap ibadah.

Baca Juga: PKB Sebut Usulan Pilkada Lewat DPRD Merupakan Gagasan Lama Cak Imin

Negara tidak bisa berdiri netral dalam situasi seperti ini. Tata kelola haji adalah soal integritas moral kebijakan publik. Selama pengawasan lemah, sanksi tidak tegas, dan transparansi kuota serta

biaya tidak dibuka sepenuhnya ke publik, praktik mafia akan terus beradaptasi. Lebih berbahaya lagi, pembiaran ini menormalisasi ketidakadilan dalam urusan ibadah, seolah korupsi dapat ditoleransi selama dibungkus simbol religius.

Bagi jemaah, dampaknya bukan hanya kerugian materi, tetapi juga luka batin. Kekhusyukan ibadah diuji bukan hanya di Arafah atau Mina, melainkan sejak berhadapan dengan sistem yang tidak jujur. Kesabaran yang seharusnya menjadi nilai spiritual berubah menjadi keterpaksaan menghadapi ketidakadilan struktural.

Haji memang tidak mungkin sepenuhnya steril dari logika pasar. Namun, membiarkan pasar dan mafia mengendalikan ibadah tanpa kompas moral adalah pilihan politik dan kebijakan. Ketika niat suci bertemu realitas bisnis yang korup, pertanyaan besarnya bukan hanya bagaimana jemaah menjaga keikhlasan, tetapi sejauh mana negara berani membersihkan sistem dari praktik rente yang mencederai makna haji sebagai ibadah yang adil dan bermartabat.

Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah di bawah Menteri Mochamad Irfan Yusuf dan Wakil Menteri Dahnil Anzar Simanjuntak merupakan langkah strategis negara untuk menjawab persoalan tata kelola haji yang selama ini bersifat struktural, bukan sekadar teknis. Selama berada di bawah Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama, pengelolaan haji kerap dibebani keterbatasan koordinasi, tumpang tindih kewenangan, serta lemahnya pengawasan terhadap biaya dan layanan. Dengan mengalihkan mandat tersebut ke kementerian khusus mulai 2026, pemerintah menegaskan bahwa haji dan umrah adalah urusan pelayanan publik berskala besar yang membutuhkan fokus kelembagaan, profesionalisme, dan akuntabilitas tersendiri.

Argumen utama pembentukan kementerian ini terletak pada integrasi dan efektivitas pengelolaan. Penyelenggaraan haji melibatkan rantai kebijakan lintas negara, pengelolaan dana besar, serta jutaan jamaah dengan kebutuhan beragam. Kementerian khusus memungkinkan koordinasi yang lebih terpusat, pengambilan keputusan yang lebih cepat, dan pengawasan yang lebih ketat. Kondisi ini adalah sesuatu yang sulit dicapai ketika urusan haji hanya menjadi salah satu direktorat di kementerian dengan mandat luas seperti Kementerian Agama.

Selain itu, peningkatan kualitas pelayanan dan efisiensi biaya menjadi justifikasi penting. Selama ini, tingginya biaya haji dan ketidaksesuaian layanan menunjukkan bahwa masalah tidak hanya terletak pada faktor eksternal, tetapi juga pada desain kelembagaan dan sistem pengadaan. Dengan kewenangan penuh, Kementerian Haji dan Umrah diharapkan mampu merancang standar layanan yang konsisten, menekan biaya yang tidak perlu, serta memastikan bahwa efisiensi tidak mengorbankan hak dan kenyamanan jemaah.

Baca Juga: Bahlil Tegaskan Bea Keluar Batu Bara Berlaku Selektif Sesuai Harga Pasar

Pembentukan kementerian ini juga memiliki dimensi pencegahan korupsi dan praktik curang. Manipulasi kuota, konflik kepentingan dalam pengadaan, dan penyalahgunaan kewenangan tumbuh subur dalam sistem yang minim transparansi dan pengawasan. Skema baru dengan

pembatasan jumlah syarikah ya awalnya dari delapan menjadi dua menunjukkan upaya negara untuk menyederhanakan rantai layanan agar lebih mudah diaudit dan diawasi. Meski demikian, kebijakan ini harus disertai mekanisme anti monopoli yang kuat agar efisiensi tidak berubah menjadi konsentrasi kekuasaan baru.

Pada akhirnya, transisi penyelenggaraan haji dari Kementerian Agama ke Kementerian Haji dan Umrah yang kini tengah diawasi ketat oleh pemerintah dan DPR menjadi uji komitmen negara dalam membersihkan tata kelola haji. Jika kementerian baru ini hanya menjadi pemindahan struktur tanpa reformasi substantif, maka pembenahan akan berhenti pada simbol. Namun, bila dijalankan dengan transparansi, profesionalisme, dan keberpihakan pada jemaah, Kementerian Haji dan Umrah dapat menjadi tonggak penting dalam mengembalikan haji sebagai ibadah yang adil, bermartabat, dan bebas dari praktik rente.

Tulisan Terkait: