Mudabicara.com_ Teori Emanasi merupakan salah satu teori utama bagi para filsuf muslim untuk menganalisis sekaligus menjelaskan berbagai fenomenan penciptaan alam.
Teori ini ingin menjelaskan fenomena ketuhanan tanpa harus mempertanyaan keesaan Tuhan. Bagi filsuf muslim “Yang Esa” hanya satu sedangkan yang lain adalah hal-hal yang pluralis.
Tokoh filsuf yang mengunakan teori emanasi dalam menjelaskan hubungan agama dan filsafat adalah Ibnu Rusyd. Lalu bagaimana analisis agama dan filsafat mengunakan teori emanasi Ibnu Rusyd, berikut ulasan selengkapnya.
Baca juga : Mengenal Pandangan Filsafat Jiwa Al Kindi
Sekilas Tentang Ibnu Rusyd
Ibn Rusyd merupakan seorang filsuf muslim yang terkenal dan masyhur di Abad 12 Masehi. Ibn Rusyd bernama lengkap Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd.
Ia Lahir di kota Kordoba, Andalus (Spanyol) pada tahun 1126 M. Ibn Rusyd berasal dari keluarga bangsawan dan terpelajar sehingga dikenal sebagai orang yang mempunyai minat pada bidang keilmuan.
Ibn Rusyd pertama kali mendapatkan pendidikan di kota kelahirannya. Dalam proses belajar Ibn Rusyd mempelajari tafsir, hadist, fiqih, teologi, sastra Arab, matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan kedokteran.
Setelah menamatkan pendidikanya pada tahun 1159 M, Ibn Rusyd dipanggil gubernur Seville untuk membantu reformasi pendidikan disana. Ibn Rusyd sangat mumpuni dalam bidang hukum dan menjadi satu-satunya pakar soal khilafiyah dizamannya.
Dalam bukunya, Bidayah al-Mujtahid (ditulis tahun 1168 M) Ibnu Rusyd menguraikan tentang sebab â sebab munculnya perbedaan pendapat dalam hukum (fiqh) dan alasannya masing â masing. Karya tersebut merupakan karya terbaik dibidangnya.
Baca Juga : Mengenal Teori Perubahan Sosial Ibnu Khaldun
Salah satu yang menonjol dari pandangan Ibnu Rusyd yang lain adalah menjelaskan hubungan agama dan filsafat mengunakan teori emanasi Ibnu Rusyd.
Teori Emanasi Ibnu Rusyd Tentang Alam dan Tuhan
Ibn Rusyd menggunakan teori emanasi sebagai dasar pergulatan pemikirannya untuk memahami relasi antara alam dan Tuhan.
Teori emanasi Ibn Rusyd berangkat dari pemahaman bahwa salah satu sifat Tuhan yang hakiki adalah kesempurnaan-Nya dan keesaan-Nya. Tuhan yang Esa inilah yang mengemanasikan alam semesta karena kesempurnaan-Nya.
Kesempurnaan dan ke-Esa-an Tuhan itu harus dilihat dari sisi perbuatan-Nya sejak azali. Karena kalo tidak dipahami demikian, maka ada saat di mana Tuhan harus mengatur pada zaman tertentu, sebelum Dia memutuskan diri untuk menciptakan alam semesta ini.
Terkait dengan ke-Esa-an Tuhan, Ibn Rusyd memahami bahwa yang melimpah dari Tuhan yang Esa tidak harus satu, tetapi juga lebih dari satu.
Adapun untuk mendukung pendapatnya ini, Ibn Rusyd mengungkapkan perbedaan mendasar antara Tuhan dengan manusia dalam melakukan suatu aktivitas atau perbuatan.
Ibn Rusyd mengatakan sesungguhnya ada perbedaan antara Pembuat Pertama (Tuhan) dengan pembuat yang nyata (manusia).
Baca Juga : Mengenal Sosok Tokoh Aceh Teungku Ismail Yakub
Dalam proses penciptaan, alam semesta ini melimpah dari Tuhan yang Esa. Tuhan tidak hanya melimpahkan yang satu saja, tetapi terdapat multiplisitas limpahan yang terjadi, sebagai efek multiple dari tindakan Tuhan yang Esa itu.
Menurut Ibn Rusyd, tindakan Tuhan semacam itu harus dibedakan dengan tindakan manusia. Manusia hanya mungkin melakukan sekali tindakan dengan satu efek tindakan yang telah dibuatnya. Tetapi untuk Tuhan, dengan sekali tindakan, dapat menghasilkan beragam efek dari tindakan yang telah diperbuat-Nya.
Dengan alasan ini, akhirnya Ibn Rusyd menolak pemahaman para pemikir teori emanasi pada umumnya yang menyatakan bahwa dari yang Satu, Esa, hanya melimpah satu.
Ibn Rusyd sekali lagi secara tegas mengatakan bahwa Tuhan dalam keharusan-Nya menyebabkan segala sesuatu secara serentak, tanpa ada perantara lain selain Dia.
Dalam bukunya, Tahafut-al-Tahafut, Ibn Rusyd menunjukkan bahwa pembuat yang Esa itu menyebabkan alam semesta dengan keanekaragaman realitas partikular di dalamnya.
Relasi Agama dan Filsafat Dalam Pandangan Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd berusaha mempertemukan agama dengan filsafat dengan membela keduanya. Dalam hal ini Ibnu Rusyd bertolak pada dua persoalan utama.
Pertama, pandangan syariâat terhadap hukum mempelajari logika dan filsafat dan kedua, metode memahami Al-Qurâan sebagai sumber asasi syariâat.
Langkah untuk menjawab kedua persoalan tersebut, Ibnu Rusyd menelusuri ayat-ayat al-Qurâan tentang hukum bagaimana mempelajari logika dan filsafat.
Ibn Rusyd menemukan bukti beberapa ayat yang menyerukan penggunaan akal untuk meneliti secara rasional argumentatif mengenai realitas materiil maupun non materiil sebagai representasi kreasi Tuhan.
Berdasarkan penemuan tersebut, Ibnu Rusy menyimpulkan bahwa syariâat menganjurkan manusia untuk mempelajari filsafat dan mencoba menggunakannya dalam meneliti realitas.
Hal tersebut dinilai sejalan dengan argument filsafatnya yang berpijak pada realitas alam nyata menuju realitas alam tidak nyata.
Baca Juga : Mengenal Sosok Syekh Hamzah Fansuri Sufi Besar Nusantara
Semakin mendalam pemahaman filsafat seseorang, semakin dalam pula dia Tuhan karena realitas merpakan reperesentasi kreasi Tuhan.
Perbedaan Logika dan Filsafat
Ibnu Rusyd membedakan antara logika dan filsafat. Logika diposisikan sebagai alat filsafat, sedangkan filsafat diposisikan sebagai hasil dari kreasi logika.
Penegasan ini sejalan dengan pandangannya Aristoteles yang menjadikan logika sebagai alat filasafat, bukan sebagai bagian dari disiplin filsafat.Â
Hal itu terlihat dari konsep tentang pembagian ilmu pengetahuan. Aristoteles membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga jenis, yaitu pengetahuan praktis, pengetahuan teoritis, dan pengetahuan produktif.
Pengetahuan parkatis meliputi etika dan politik, pengetahuan teoritis meliputi fisika, metafisika dan matematika, dan pengetahuan Produktif meliputi pengetahuan yang menghasilkan karya tehnik produktif.
Baca Juga : Mengenal Sang Maestro Al-Qurâan Mbah Kiai Haji M. Munnawir Krapyak Yogyakarta
Apa yang diberikan langsung oleh panca indera terkadang menyesatkan dan menyeret pada kemungkaran. Walaupun demikian, mempublikasikan informasi yang diperoleh melalui nalar demonstratif kepada masyarakat umum adalah perbuatan yang menyalahi etika intelektual.
Masyarakat umum tidak mampu mencerna argumentasi demonstratif dengan baik sehingga argumentasi tersebut tidak akan membawa kejelasan kepada mereka, dan justru sebaliknya akan membawa pada keraguan. I
bnu Rusyd berpendapat bahwa mempelajari filasafat bagi orang yang memiliki kemampuan meneliti alam secara demonstratif adalah wajib hukumnya menurut syarâiat.
Posisi Al-Qur’an Dalam Filsafat
Al-Qurâan merupakan sumber intelektualitas dan spritualitas Islam. Qurâan merupakan basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spritual tetapi bagi semua jenis pengetahuan.
Qurâan merupakan sumber utama inspirasi pandangan muslim tentang keterpaduan sains dan pengetahuan spritual.
Al-Qurâan bukanlah kitab sains, tetapi ia memberikan pengetahuan tentang prinsip-prinsip sains, yang selalu dikaitkannya dengan pengetahuan metafisik dan spritual.
Panggilan al-Qurâan untuk âmembaca dengan nama Tuhanmuâ telah ditaati secara setia oleh setiap generasi muslim.
Perintah itu telah dipahami dengan pengertian bahwa pencarian pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah harus didasarkan pada pondasi pengetahuan kita tentang realitas Tuhan.Â
Menurut Ibnu Sina, sains disebut sains yang sejati jika ia menghubungkan pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan tentang prinsip ilahi.
Ilmuwan-ilmuwan muslim atau para filusuf muslim akan percaya sepenuhnya bahwa sumber dari segala ilmu adalah Allah, Tuhan yang sering disebut Sang Kebenar (al-Haqq) atau ada juga yang menyebutnya The Ultimate Reality (realitas sejati).
Karena tujuan dari ilmu adalah untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yang berarti untuk mengetahui kebenaran sejati, maka Tuhan sebagai kebenaran sejati tentu merupakan sumber bagi segala kebenaran lainnya. Termasuk kebenaran atau realitas-realitas ilmu.
Dengan demikian, ilmuwan-ilmuwan muslim atau para filusuf muslim sepakat bahwa sumber ilmu atau lebih tepatnya sumber asl ilmu adalah Allah sendiri Sang Kebenaran.
Baca Juga : Mengenal Teori Hermeneutika Hasan Hanafi
Oleh karena itu, Menurut Ibnu Rusyd, relasi antara agama dan filsafat bukan satu hal yang perlu dipertentangkan sebab agama dan filsafat merupakan cara mencapai kebenaran yang sama. Di sisi lain agama dan filsafat percaya pada keabadian alam semesta.
Pada konteks agama dan filsafat juga menyatakan bahwa jiwa dibagi menjadi dua bagian, satu individu dan satu Tuhan, sedangkan setiap jiwa adalah tidak kekal, semua manusia di tingkat dasar dan berbagi satu sama ilahi jiwa.
Ibnu Rusyd mempunyai dua jenis Pengetahuan tentang kebenaran. Pertama adalah pengetahuan-Nya kebenaran agama yang berdasarkan iman dan dengan demikian tidak dapat diuji, dan tidak melakukan itu memerlukan pelatihan untuk memahami.
Kedua pengetahuan tentang kebenaran adalah filosofi yang dilindungi undang-undang untuk beberapa elit intelektual yang memiliki kemampuan untuk melakukan kajian ini.
Sekian penjelasan mengenai Teori Emanasi Ibnu Rusyd, terima kasih telah mengunjungi portal website mudabicara. Jika artikel ini bermanfaat, silahkan share artikel ini. Terima Kasih.