Mudabicara.com_ Membahas ilmu hermeneutika tentu satu hal yang susah namun juga menarik. Pasalnya ada banyak pandangan serta pendapat mengenai ilmu hermeneutika ini.
Pengertian umum tentang hermeneutika sendiri adalah cabang ilmu filsafat yang mempelejari tentang interpretasi makna. Dalam menginterpretasi makna hermeneutika mencoba mendapatkan makna secara utuh baik secara teks maupun konteks.
Ada banyak tokoh pemikir baik barat maupun timur yang membahas tentang Ilmu hermeneutika. Nah! kali ini mudabicara ingin membahas salah satu teori hermeneutika Hasan Hanafi, seorang pemikir kritis islam dari tanah Mesir. Selengkapnya simak ulasan berikut ini:
Baca Juga : Mengenal Teori Hermeneutika Hans Georg Gadamer
Apa itu Hermeneutika?
Secara etimologi Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneutine dan hermeneia. Keduakata ini berati menafsirkan dan penafsiran. Sedangkan dalam bahasa Inggris dari hermeneutics yang berarti menafsirkan.
Istilah hermeneutika berasal dari sebuah risalah yang berjudul Peri Hermeneias (Tentang Penafsiran), oleh karen itu ilmu hermeneutika sendiri tak terlepas dari pandangan hidup dari pengagasnya.
Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.
Sebelum masuk pada pembahasan hermeneutika menurut Hasan Hanafi, perlu kita tinjau terlebih dahulu apa pengertian hermeneutika menurut para ahli.
Pengertian Hermeneutika Menurut Para Ahli
1. Carl Braaten
Hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di suatu masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna di masa sekarang.
Sekaligus mengandung aturan – aturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman.
Baca Juga : 10 Manfaat Belajar Filsafat Untuk Anak Muda
2. Friedrich Ernst Daniel Schleiermarcher
Hermeneutika adalah suatu metode interpretasi dan menganggap semua teks dapat menjadi objek kajian hermeneutika. Selain itu Hermeneutika juga dijadikan sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks mengani konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma.
Makna dinilai bukan hanya sekedar isyarat yang dibawa oleh bahasa, sebab bahasa dapat mengungkapkan sebuah realitas dengan jelas, tetapi pada saat yang sama dapat menyembunyikan realitas itu sendiri.
Schleiermacher menawarkan sebuah metode rekonstruksi historis, objektif dan subjektif terhadap sebuah pernyataan, membahas dengan bahasa secara keseluruhan.
Dimana tugas utama hermeneutika adalah memahami teks dengan baik atau bahkan lebih baik dari pada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik dari pada memahami diri sendiri.
3. Martin Heidegger
Menurut pemikiran filsafat Heidegger, hermeneutika meliputi dua periode antara lain, periode pertama meliputi hakikat tentang “ada” dan “waktu”.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menanyakan tentang “ada”. Sebab, manusia pada hakikatnya”ada” tetapi tidak begitu saja ada, melainkan senantiasa secara erat berkaitan dengan “adanya” sendiri.
Sedangkan periode kedua menjelaskan pengertian”kehre” yang berarti “pembalikan”. Ketidaktersembunyian ”ada” merupakan kejadian asli.
Berpikir pada hakikatnya adalah terikat pada arti. Oleh karena itu, manusia bukanlah penguasa atas apa yang ”ada” melainkan sebagai penjaga padanya.
Baca Juga : Mengenal Pandangan Filsafat Jiwa Al Kindi
Bahasa bukan sekedar alat untuk menyampaikan dan memperoleh informasi. Bahasa pada dasarnya adalah ”bahasa hakikat”. Artinya berpikir adalah suatu jawaban, tanggapan atau respons.
Bukan manipulasi ide yang hakikatnya telah terkandung dalam proses penuturan bahasa dan bukan hanya sebagai alat belaka. Dalam realitas, bahasa lebih menentukan daripada fakta atau perbuatan.
Bahasa adalah tempat tinggal ”sang ada”. Bahasa merupakan ruang bagi pengalaman yang bermakna. Pengalaman yang telah diungkapkan adalah pengalaman yang telah mengkristal.
Oleh karena itu pengalaman menjadi semacam substansi dan pengalaman menjadi tak bermakna jika tidak menemukan rumahnya dalam bahasa.
Sebaliknya, tanpa pengalaman nyata, bahasa adalah ibarat ruang kosong tanpa kehidupan. Pemahaman teks sendiri terletak pada kegiatan mendengarkan lewat bahasa manusia perihal apa yang dikatakan dalam ungkapan bahasa.
4. Jurgen Habermas
Hermeneutika menurut Habermas bertujuan untuk memahami proses pemahaman – understanding the process of understanding.
Pemahaman adalah suatu kegiatan pengalaman dan pengertian teoritis berpadu menjadi satu. Tidak mungkin dapat memahami sepenuhnya makna sesuatu fakta, sebab selalu ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasikan.
Dalam memahami sesuatu tentu juga melibatkan bahasa sebagai unsur fundamental dalam hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan melalui hubungan simbol-simbol dan simbol-simbol tersebut sebagai simbol dari fakta.
5. Paul Ricoeur
Pemaknaan Hermeneutika Paul Recoeur berangkat dari sebuah teks sebagai sebuah otonom atau berdiri sendiri dan tidak bergantung pada maksud pengarang.
Otonomi teks ada tiga macam sebagai berikut, yakni Intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan tek, dan untuk siapa teks dimaksud.
Baca Juga : Mengenal Tokoh Sosiologi Modern Max Weber
Tugas hermeneutika mengarahkan perhatiannya kepada makna objektif dari teks itu sendiri, terlepas dari maksud subjektif pengarang ataupun orang lain.
Interpretasi dianggap telah berhasil mencapai tujuannya jika ”dunia teks” dan ” dunia interpretasi” telah berbaur menjadi satu.
6. Jacques Derrida
Dalam filsafat bahasa yang berkaitan dengan hermeneutika, Derrida membedakan antara ”tanda” dan ”simbol”. Setiap tanda bersifat arbitrer.
Bahasa menurut kodratnya adalah ”tulis” objek timbul dalam jaringan tanda, dan jaringan atau rajutan tanda ini disebut ”teks”.
Segala sesuatu yang ada selalui ditandai dengan tekstualitas. Tidak ada makna yang melebihi teks. Makna senantiasa tertenun dalam teks.
Teori Hermeneutika Hasan Hanafi
Pada tataran pemikiran hermeneutika Al-Quran, sebagaimana diketahui bersama, Hasan Hanafi mempunyai pemikiran berupa hermeneutika Al-Quran kritik emansipatoris.
Teori hermeneutika Hasan Hanafi yaitu tentang memahami makna Al-Quran dalam konteks kekinian tanpa tercerabut dari konteks historis dan yang terpenting pemahaman tersebut tidak berkutat dalam wacana.
Baca Juga : Mengenal Teori Anarkisme Damai Pierre Joseph Proudhon
Lebih lanjut, teori hermeneutika Hasan Hanafi benar-benar mampu membawa pada perubahan sosial masyarakat, inilah yang menjadi fokus kajian atau distingsi dari hermeneutika Hasan Hanafi.
Hermeneutika Pandangan Hasan Hanafi
Teori Hermeneutika Hasan Hanafi pertama kali dikemukakan melalui karyanya fenomenalnya berjudul Religius Dialogue and Revolution.
Dalam karyanya Hasan Hanafi melihat hermeneutika sebagai aksiomatika, sebagaimana halnya pandangan Al-Quran terhadap kitab suci lainnya, status wanita menurut Al-Quran dan ajaran Yahudi dan sebagainya.
Pun dalam Dirasat Islamiyyah bab Ushul Fiqh dan Dirasat Falsafiyyah utamanya dalam bahasan Qira’ah Nash.
Dua Agenda dan piranti Besar, yakni Concern Hasan Hanafi dalam mengembangkan hermeneutika Al-Quran-nya dibangun atas dua agenda, yaitu persoalan metodis atau teori penafsiran dan persoalan filosofis.
Secara metodis, Hanafi seolah hendak menggariskan beberapa new line (garis baru) dalam memahami Al-Quran dengan tumpuan utama pada dimensi liberasi dan emansipatoris Al-Quran.
Sementara agenda filosofis, Hanafi telah bertindak sebagai kritikus bahkan dekonstruktor terhadap teori lama yang dianggap sebagai kebenaran dalam metodologi penafsiran Al-Quran.
Maka, dalam konteks ini teori hermeneutika Hasan Hanafi mencoba merekonstruksi hermeneutika ala dirinya dengan menggunakan beberapa piranti besar, yaitu ushul fiqih, fenomenologi, Marxis, dan hermeneutika itu sendiri.
Melalui empat komposisi tersebut, teori hermeneutika Hasan Hanafi membangun serta mewadahi gagasan pembebasan dalam Islam.
Atau bisa disebut dengan tafsir revolusioner yang menjadi pijakan normatif-ideologis bagi umat Islam – untuk menghadapi segala bentuk represi, eksploitas, dan ketidakadilan – yang mengusung hermeneutika lebih bersifat praksis dan mampu menjadi problem solver.
Baca Juga : Mengenal Pemikiran Emile Durkheim, Bapak Sosiologi Modern
Menariknya Hasan Hanafi dalam Islam in The Modern world bahwa tanggungjawab Penafsir ialah mengungkapkan eksistensi manusia baik secara individu maupun sosial dengan berbagai situasinya sesuai pesan ajaran Islam itu sendiri (shalih likulli zaman wa makan).
Hermeneutika Sebagai Aksiomatika
Hermeneutika sebagai aksiomatika menurut Hasan Hanafi berarti deskripsi proses hermeneutika sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, format, obyektif dan universal, yakni dengan mengkonstruksi sebuah metode yang bersifat rasional, obyektif dan universal dalam memahami teks-teks klasik Islam.
Hermeneutika dalam teori hermeneutika Hasan Hanafi juga memainkan peranan yang sama seperti teori keseluruhan dan teori penjumlahan dalam matematika.
Di mana meletakkan semua aksiomanya di muka dan mencoba dahulu merampungkan problem hermeneutika tanpa mengacu pada data relevan khusus sehingga akan menjadi semacam mathesis universal.
Aksiomatisasi hermeneutika sendiri menurut Hasan Hanafi, mengasosiasi semua masalah yang terdapat dalam kitab suci dan mencoba menyelesaikannya di muka atau in principil dengan meletakkan masalah dengan penyelesaian secara bersama-sama dalam bentuk aksiomatis.
Hal ini agar menciptakan sebuah disiplin penafsiran yang obyektif, rigorus (tepat, akurat dan universal).
Selain itu, dimaksudkan agar tafsir Al-Quran dapat menyentuh masyarakat secara luas dan empiris dengan segala problematika yang dihadapi, tidak hanya sebatas pada aspek teoritis, tapi juga praksis-aplikatif.
Hanafi memberikan stressing (penekanan) pada pentingnya ideologi dan “kepentingan” untuk dibawa ke dalam proses penafsiran.
Jauh pembacaan teks yang dilakukan oleh penafsir tidak terlepas dari background sosial budaya serta pengarun intern yang ia miliki.
Sederhananya, seorang penafsir dalam menafsirkan harus mengenal siapa dirinya di satu sisi, serta obyektif dan tidak brutal (sewenang-wenang) dalam menafsirkan teks Al-Quran pada sisi yang lain.
Baca Juga : Memahami Etika Protestan Dan Semangat Kapitalisme Max Weber
Karena baginya, hermeneutika mengajarkan metode yang bersifat normatif sehingga diperlukan kelihaian (expertise) dalam kerja-kerja penafsiran.
Penjelasan di dalam Qadlaya Muashirah, Hasan Hanafi berpendapat bahwa kebanyakan tafsir Al-Quran terkungkung dalam tema-tema tautologis (cocokologi) dan repetitif yang sebetulnya tidak relevan.
Mentransformasikan penafsiran dari sekadar melegitimasi dogma menuju gerakan revolusi dan dari tradisi ke modernisasi, inilah yang kemudian hanafi menyebutnya sebagai tindakan “regresif-progresif”.
Menurut Hanafi dalam Min al-Nash ila al-Waqi’, apabila teks bertentangan dengan maslahat, maka maslahatlah yang harus didahulukan, sebab teks hanya sekadar wasilah (tools), adapun maslahat adalah ghayah atau maqashid dari teks itu sendiri.
Interelasi antara interpretasi dan realitas memang bagi Hanafi begitu signifikan dalam hermeneutika. Bahkan, jika kita amati Hasan Hanafi selalu mengaitkan hermeneutika pada tataran “praksis” hal ini dinilai berkaitan dengan adanya pengaruh Marxisme dalam benaknya.
Sekian penjelasan mengenai teori hermeneutika Hasan Hanafi, sampai jumpa pada pembahasan berikutnya. Selamat Membaca!