Mudabicara.com_ Pandangan Ibnu Rusyd tentang wahyu dan rasio tentu memiliki kesamaan pun perbedaan dengan para tokoh pemikir dan filusuf muslim lainnya.
Sebagai seorang ahli filsafat yang tumbuh dan berkembang di kota Andalus, Spanyol, Ibnu Rusyd memberikan kontribusi dalam perkembangan keilmuwan Islam secara signifikan.
Salah satu kontribusi besar Ibnu Rusyd adalah pembahasanya terkait dengan relasi agama dan filsafat mengunakan teori emanasi.
Selain itu Ibnu Rusyd membahas tentang hubungan wahyu dan rasio. Nah! mudabicara akan membahas artikel tentang pandangan Ibnu Rusyd tentang wahyu dan rasio. Selengkapnya sebagai berikut:
Baca Juga : Mengenal Teori Emanasi Ibnu Rusyd
Pandangan Ibnu Rusyd tentang Wahyu dan Rasio
Dalam konteks wahyu dan rasio Ibn Rusyd, Ibnu Rusyd memiliki padangan bahwa rasio mempunyai peran besar dalam proses pemahaman terhadap wahyu dan realitas.
Rasio berguna sebagai medium untuk menganalisis prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran melalui metode tafsir atau takwil sehingga ilmu-ilmu agama akan nampak rasional bagi pemeluknya.
Oleh karena itu berbicara terkait hubungan wahyu dan rasio, beberapa filsuf seperti Ibn Rusdy dan Ibnu khaldun mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama didasarkan pada “otoritas”, bukan akal. Adapun yang dimaksud otoritas di sini adalah al-Qur’an dan al-Hadits yang bertindak sebagai tafsir atasnya.
Jadi sumber-sumber ilmu agama adalah kitab suci yang diwahyukan secara langsung kepada Nabi dan RasulNya.
Adapun sumber dari ilmu-ilmu umum adalah alam semesta yang terhampar luar hingga atom-atom dan partikel-partikel yang sangat kecil.
Dari pembahasan ini yang menarik adalah pernyataan Tuhan sendiri yang memandang baik al-Qur’an maupun alam semesta sebagai “tanda-tanda (ayat) Tuhan”.
Dengan demikian jelas bahwa ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum sebenarnya sama-sama mengkaji “ayat-ayat Allah”, hanya saja yang pertama mengkaji ayat-ayat qauliyah, yang kedua ayat-ayat kauniyyah.
Baca Juga : Mengenal Teori Perubahan Sosial Ibnu Khaldun
Karena sama-sama tanda (ayat) Allah, keduanya merujuk atau menunjukkan realitas sejati yang sama, Allah, sebagai sumber kebenaran. Dialah realitas yang menjadi objek penelitian setiap ilmu, baik yang bersifat naqliyyah maupun aqliyyah.
Oleh karena itu sebagai tanda-tanda ilahi, alam semesta sebagai realitas wujud tidak bisa kita pandang sebagai realitas-realitas independen yang tidak punya kaitan apapun dengan realitas-realitas yang lebih tinggi.
Wahyu dan realitas wujud ini juga yang menjadi sumber pengetahuan menurut Ibnu Rusyd. Dua bentuk sumber ini masing-masing melahirkan disiplin ilmu yang berbeda.
Realitas wujud melahirkan ilmu dan filsafat sedang wahyu memunculkan ilmu-ilmu agama.
Meski demikian menurut Ibn Rusyd, dua macam sumber pengetahuan tersebut tidak bertentangan melainkan selaras dan berkaitan karena keduanya adalah benar dan mengajak kepada kebenaran.
Relasi Wahyu dan Rasio
Pembahasan tentang bagaimana pandangan Ibnu Rusyd tetang wahyu dan rasio disini, penulis terlebih dulu perlu mempertemukan konsep wahyu dan rasio itu sendiri.
Bagaimana Dengan Wahyu
Secara umum, Ibnu Rusyd memaknai wahyu lebih sebagai hikmah (kebijaksanaan) yang diartikan sebagai ” sebuah pengetahuan tertinggi tentang eksisitensi-eksistensi spritual”.
Melalui hikmah seorang nabi mampu mengetahui kebahagian hakiki berkaitan dengan kehidupan akhirat atau kehidupan sesuadah mati.
Berdasarkan hal tersebut, diturunkanlah syari’at kepada manusia demi mencapai kebahagiaan yang dimaksud. Materi ajaran syariat terdiri dari dua hal, yaitu: ajaran tentang ilmu benar (al-ilmu al-haq) dan ajaran tentang perbuatan yang benar (al-‘amal al-haq).
Ilmu yang benar adalah ilmu pengetahuan yang mengenalkan manusia dengan Tuhannya sebagai Dzat yang Maha Suci dan Maha Tinggi, mengenalkan kepada segala bentuk realitas wujud sebagaimana adanya terutama wujud-wujud mulia yang bersifat metafisik, dan mengenalkan pada pahala dan siksa di akhirat.
Adapun perbuatan yang benar adalah perbuatan yang akan membawa kepada kebahagiaan dan menjauhkan dari penderitaan.
Baca Juga : Mengenal Pandangan Filsafat Jiwa Al Kindi
Perbuatan-perbuatan yang benar itu sendiri terbagi dua:
1) perbuatan-perbuatan lahir yang bersifat fisik sebagaimana yang tercantum dalam aturan-aturan hukum fiqh.
2) perbuatan-perbuatan yang bersifat psikis dan spritual, seperti rasa syukur, sabar dan bentuk-bentuk moral etika lain yang diajarkan syariat yang kemudian dikenal dengan prilaku zuhud.
Bagaimana Dengan Rasio
Selanjutnya penalaran rasional, menurut Ibnu Rusyd tidak akan bertentangan dengan syari’at. Hal ini dapat terjadi karena penalaran rasional yang sesungguhnya bukanlah sesuatu yang di luar ajaran syari’at melainkan justru perintah syari’at.
Banyaknya ayat-ayat yang menyuruh kita melakukan nazdar secara rasional terhadap bentuk realitas untuk kemudian mengambil pelajaran darinya.
Jika demikian, jika syari’at diyakini benar adanya dan kenyataannya ia memerintahkan pada penalaran rasional yang akan menggiringi kepada pengetahuan yang benar.
Maka penalaran rasional tidak mungkin bertentangan dengan syar’at, sebab kebenaran yang satu tidak mungkin bertentangan dengan syari’at dan kebenaran yang satu tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran lainnya, justeru saling mendukung.
Pada konteks padangan ibnu rusyd tentang wahyu dan rasio, Ibnu Rusyd menolak keras pendapat al-Ghazali dan orang-orang yang melarang belajar filsafat dan pemikiran rasional dengan alasan hasilnya akan bertentangan dengan syari’at atau karena adanya kasus-kasus yang memunculkan penyimpangan.
Menurut Ibnu Rusyd, penalaran rasional yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan mendalam tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang bertentangan. Adapun penyimpangan yang terjadi pada beberapa orang hanyalah bersifat kasuistik sehingga tidak dapat digeneralisir.
Dalam membela filsafat, Ibnu Rusyd berusaha menyatakan bahwa berfikir secara filosofis tidak lebih dari sekedar memikirkan alam semesta.
Baca Juga : Mengenal Sosok Syekh Hamzah Fansuri Sufi Besar Nusantara
Secara tegas Allah memerintahkan hambanya untuk memikirkan alam semesta demi mencapai keimanan yang sempurna.
Apabila memikirkan alam semesta dengan segala isinya merupakan perintah Allah, sedangkan mekanisme yang paling utama dalam memikirkan itu semua adalah nalar demonstratif.
Maka nalar demonstratif tidak mungkin digunakan secara langsung oleh manusia dengan sempurna tetapi dia memerlukan pembelajaran yang serius terhadap pernak-pernik yang ada didalamnya.
Sejauh ini, untuk memahami pernak pernik dalam pengetahuan tersebut tentunya memerlukan ilmu logika. Meskipun ilmu logika sendiri hanyalah kumpulan metodologi yang berfungsi sebagai perantara dalam memahami sesuatu. Perantara dapat diambil dari mana saja dan dari siapa saja.
Karena itu mempelajari ilmu logika tidaklah bid’ah lantaran tidak dikenal di masa Islam pertama. Ushul Fikih merupakan salah satu ilmu yang juga tidak dikenal pada masa itu.
Apabila ilmu Ushul Fikih tidak dianggap bid’ah, maka ilmu logika juga bukan bid’ah. Dengan demikian, hukum mempelajari logika yyang identik dengan filsafat dalam pandangan syari’ah Islam sendiri adalah wajib jika tujuannya sebagaimana yang dianjurkan syari’ah.
Keyakinan tidak adanya pertentangan antara hasil penalaran rasional filosofis dengan wahyu tersebut juga terjadi dalam kaitannya dengan sains atau ilmu-ilmu kealaman.
Menurut Ibn Rusyd, berkaitan dengan sains ini, syari’at mempunyai dua sikap, yaitu: menjelaskan atau tidak menyinggung sama sekali. Ketika syari’at tidak menyinggungnya berarti tidak ada masalah.
Keberadaannya sama seperti fenomena hukum yang belum dibicarakan oleh syari’at yang kemudian menjadi tugas ahli fiqh untuk menyimpulkannya melalui analogi (qiyas syar’i).
Artinya ilmu-ilmu kealaman yang belum dibicarakan syari’at berarti menjadi tanggung jawab kaum saintist untuk melakukan eksplorasi dan menguraikannya lewat metode-metode ilmiah.
Sebaliknya jika syari’at menjelaskan, kemungkinannya ada dua, yaitu: sesuai dengan hasil yang diberikan sains atau bertentangan dengannya.
Baca Juga : Mengenal Sang Maestro Al-Qur’an Mbah Kiai Haji M. Munnawir Krapyak Yogyakarta
Jika sesuai berarti tidak ada masalah, tetapi jika bertentangan maka hal itu dapat diseleraskan dengan cara dilakukan takwil atas makna zhahir yang dikandung syari’at.
Di sini Ibnu Rusyd menegaskan penggunaan takwil hanya untuk orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, dan tidak boleh boleh disampaikan kepada semua orang lebih-lebih masyarakat awam karena dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekafiran.
Tujuan Mempertemukan Wahyu dan Rasio
Pengetahuan yang diperoleh baik lewat ayat-ayat naqliyah maupun aqliyyah menurut Ibn Rusyd, bertujuan untuk mengenal Tuhan (al-Haqq) Sang Kebenaran.
Dalam tradisi filsafat humaniora klasik, argumen-argumen mengenai keberadaan Allah biasanya berpangkal pada tiga hingga lima kategori, yaitu: argumen kosmoslogis, argumen ontologis, argumen teologis , argumen moral dan argumen pengalaman spritual.
Argumen kosmologis yang pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dan belakangan diadopsi oleh filsuf ternama diantaranya al-Kindi, Ibn Rusyd dan Thomas Aquinus.
Rumusan-rumusan ini pada dasarnya menegaskan bahwa kebenaran dunia dapat ditelusuri dari satu sebab ke sebab lain dan begitu seterusnya, tetapi penelurusan balik ini tidak dapat dilanjutkan terus menerus tanpa batas waktu karena harus berhenti pada penyebab pertama, yakni Tuhan sang Pencipta.
Baca Juga : Mengenal Abah AOS, Ulama Kharismatik Dari Tanah Pasundan Dan Ajaranya
Argumen ontologi berisi bahwa kemampuan manusia Tuhan sang Pencipta memungkinkan mereka menganggap sesuatu hal terhebat yang bisa dibayangkan.
Namun keberadaan Tuhan dalam realitas lebih superior dibandingkan keberadaannya dalam pikiran, maka zat yang Agung (Tuhan) harus ada, baik dalam pikiran maupun realitas. Argumen teologis adalah argumen yang paling sederhana.
Gagasan dasar dalam argumen ini adalah ketidakmungkinan mengamati semua kerumitan, keagungan, dan keselaran (internal dan relasional) dari semua ciptaan tanpa memikirkan adanya sesosok pencipta yang kuat dan cerdas dibalik semua ciptaan tersebut.
argumen moral berhubungan dengan dua hal: ‘hukum moral manusia’ dan ‘kemenangan akhir di pihak yang baik’. Dengan demikian diperlukan Tuhan untuk memberi makna dan keputusan dalam kehidupan kita.
Argumen terakhir, pengalaman spritual adalah pengakuan terhadap keberadaan beragam pengalaman spiritual yang dilaporkan manusia.
Beberapa pandangan melihat bahwa argumen ini mengarah kepada keberadaan suatu sumber atau saluran spiritual yang nyata.
Menurut al-Sayyid Sabiq pengetahuan tentang Allah muncul dari dua pendekatan, yakni dari rasio/eksplorasi ilmiah dan dari pemahaman yang tepat atas nama-nama atau sifat-sifatnya.
Pemikiran rasional mengacu pada banyaknya perintah Allah untuk merenung (yatafakkaruun, QS 3: 191) dan memahami (ya’qiluun, QS 2: 242).
Sabiq menegaskan bahwa kepercayaan harus muncul dari pembuktian rasional. Ia juga mengutip argumen-argumen al-Qur’an yang menolak konformisme (taklid buta) yang merupakan sikap orang-orang kafir.
Ia juga menegaskan bahwa refleksi harus dilakukan terhadap ciptaan dan tanda-tanda keberadaan Tuhan (alam dan wahyu), bukan pada Tuhan sendiri.
Kajian ilmu dan sains juga tidak boleh berhenti pada bentuk dan materi fisiknya melainkan jauh sampai pada hakikatnya.
Menurut Ibnu Rusyd realitas wujud itu terdiri dari tiga prinsip: materi, bentuk, dan keseluruhan atau gabungan atas materi dan bentuk.
Keseluruhan materi dan bentuk ini bersifat universalitas (mencakup esensi sekaligus materi). Berdasarkan kajian realitas tersebut, seseorang akan akan sampai pada Tuhan, mengenal keagungannya dan kemahakuasaanNya dan pengetahuan tentang Tuhan memang hanya dapat dicapai dengan mengkaji objek-objek riil alam ciptaannya.
Dalam upaya membuktikan wujud atau adanya Tuhan, Ibn Rusyd mengajukan tiga dalil: dalil al-Inayah, dalil al-Ikhtira’ dan dalil al-Harakah.
Pada dalil al-Inayah dinyatakan bahwa apabila manusia dengan akal pikirannya mau memperhatikan alam semesta ini, maka akan ditemukan adanya persesuaian antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
Dengan indah sekali Al-Quran surat al-Naba’ ayat 6 sampai 16 menyatakan betapa teratur dan harmonisnya hubungan antar makhluk yang bila direnungkan akan menimbulkan keyakinan adanya Pengatur semuanya itu.
Persesuaian dan keteraturan alam semesta ini bukan terjadi dengan sendiri atau secara kebetulan saja, tetapi menunjukkan adanya Dzat Pencipta dan Pengatur dan itulah Tuhan Allah.
Dalil al-Ikhtira’ menyatakan bahwa segala kejadian dan setiap jenis dan macam makhluk di dunia ini terdapat gejala yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya.
Namun semuanya berfungsi sebagaimana mestinya. Semakin tinggi tingkatan sesuatu maka semakin tinggi pula daya kemampuan serta tugasnya.
Hal ini mendorong manusia untuk menyelidiki rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya, sebagaimana tersurat dalam Al-Quran antara lain dalam surat al-Thariq ayat 5 dan 6.
Kesemua macam aneka ragam yang ada dalam alam semesta ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang ada yang menciptakan dan mengaturnya yaitu Tuhan.
Selanjutnya yang ketiga adalah dalil al-Harakah. Dalil ini jelas sekali adanya pengaruh dari Aristoteles yaitu tentang Penggerak Pertama (al-muharrik al-awwal) yang dipandang sebagai Penyebab Pertama(Prima Causa) adanya gerak.
Menurut Ibnu Rusyd, alam semesta ini bergerak secara teratur secara terus menerus dengan gerakan yang abadi. Gerakan ini menunjukkan adanya penggerak, sebab adal suatu yang mustahil bila benda bergerak dengan sendirinya.
Penggerak Pertama inilah yang namanya Tuhan, sungguhpun dia sendiri tidak bergerak.
Di antara dalil-dalil tersebut diatas ada yang persis sama dengan yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas(1225-1274) seperti yang ditulis oleh Harun Hadiwijono dalam bukunya Sari Sejarah Filsafat Barat I.
Menurut Ibn Rusyd, pembuktian atau dalil=dalil dari hasil penelitian lebih argumentatif dan lebih dapat diterima masyarakat, kaum terpelajar maupun umum.
Dengan demikian arah dan tujuan mempertemukan wahyu dengan rasio adalah dalam rangka mengenal eksistensi Tuhan, memahami keuasaan dan keagunganNya sehingga sebuah pengetahuan akan menambah keimanan terhadap Tuhan.
Validitas sebuah pengetahuan berkontribusi terhadap keimanan dan pengenalan Tuhan.