Mudabicara.com_ Teori kesadaran diri Suhrawardi merupakan salah satu teori yang menjelaskan bagaimana manusia mendapatkan ilmu pengetahuan tentang dunia eksternal.
Sebagai sebuah tokoh filsafat dan pemikir abad 12, Suhrawardi ternyata jauh melampaui pemikir-pemikir barat seperti Auguste Comte dengan teori tiga tahap pengetahuan manusia.
Bahkan melalui teori kesadaran diri Suhrawardi memberikan pengetahuan tentang bagaimana seorang manusia mendapatkan ilmu pengtahuan baik secara empiris maupun secara rasional.
Baca Juga : Mengenal Teori Hukum Tiga Tahap Auguste Comte
Lalu bagaimana sebenarnya teori kesadaran diri Suhrawardi, baca artikel mudabicara berikut ini :
Sekilas Tentang Sosok Suhrawardi
Suhrawardi merupakan seorang Filusuf dengan nama lengkap Syihab Al-Din Yahya Bin Habbas Bin Amirak Suhrawardi. Ia lahir di Suhrawar sebuah desa dekat kota Zinjan di Iran Selatan pada tahun 549 H atau 1155 M.
Sebagai seorang filsafat Islam Suhrawardi terkenal sebagai Guru Iluminasi (Syaikh Al-Isyraq), suatu sebutan bagi posisinya yang lazim sebagai pendiri mazhab baru filsafat yang berbeda dengan mazhab Peripatetik (madzhab, atau maktab al-masysya’un).
Kisah hidupnya tak semanis jasa besar keilmuwannya, Suhrawardi menghembuskan nafas terakhir dengan tragis melalui eksekusi di Aleppo pada 587 H/1191 M.
Baca Juga : Mengenal Pandangan Ibnu Rusyd Tentang Wahyu dan Rasio
Hal tersebut mengakibatkan Suhrawardi disebut sebagai Guru yang Terbunuh (Al-Syaikh Al-Maqtul). Di sisi lain, Syed Hossein Nasr berpendapat Suhrawardi merupakan tokoh filsafat islam yang memiliki kontribusi luas dalam keilmuwan perkembangan keilmuan.
Mengenal Teori Kesadaran Diri Suhrawardi Serta Pengetahuan Hushuli dan Hudluri
Dalam kajian tentang metode memperoleh pengetahuan, Suhrawardi membagi metode mendapat pengetahuan ke dalam dua bagian, yakni pengetahuan hushuli dan hudluri.
1. Pengetahuan Hushuli
Pengetahuan adalah pengetahuan hushuli adalah metode mendapat pengetahuan melalui karsa manusia, baik dengan olah bahasa (definisi), olah pikir (logika), maupun hasil pencerapan dari inderawi.
2. Pengetahuan Hudluri
Pengetahuan hudluri adalah pengetahuan dengan kehadiran objek dalam diri setiap individu. Ilmu hudhuri dapat didefinisikan juga sebagai jenis pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri.
Oleh karena itu seluruh anatomi gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa implikasi apapun terhadap acuan objektif eksternal yang membutuhkan hubungan eksterior. Artinya, hubungan tersebut tanpa campur tangan koneksi dengan objek eksternal.
Pembagian seperti itu, mirip dengan pembagian yang dilakukan oleh al-Ghazali. al-Ghazali juga membagi pengetahuan menjadi dua, yakni pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli).
Al-Ghazali menyebut pengetahuan hudhuri dengan beberapa sebutan. Di antaranya adalah ‘ilmu laduni (pengetahuan dari yang tinggi) dan ‘ilmu mukasyafah (pengetahuan tentang penyingkapan misteri-misteri ilahi). Bagi al-Ghazali, pengetahuan hudhuri lebih unggul daripada pengetahun hushuli karena terbebas dari kesalahan dan keraguan.
Baca Juga : Mengenal Teori Emanasi Ibnu Rusyd
Demikian juga Suhrawardi, baginya ilmu hudhuri adalah ilmu yang tidak memerlukan pembenaran (tashdiq), karena ilmu itu sudah benar dengan sendirinya.
Namun, sejauh pembacaan penulis, secara epistemologi, pembahasan Suhrawardi dalam hal kaitannya antara subjek yang tahu dengan objek yang hadir lebih teoritis dari apa yang dikemukakan oleh al-Ghazali.
Bagi Suhrawardi, ilmu hushuli, berasumsi bahwa objek pengetahuan berada di luar diri subjek yang mengetahui. Antara subjek dan objek tidak ada kaitan logis, ontologis, atau bahkan epistemologis.
Karenanya, segala jenis definisi dan konsepsi-konsepsi (tashawur) membutuhkan konfirmasi (tashdiq) untuk diketahui apakah benar atau salah.
Model seperti inilah yang banyak digunakan oleh kaum peripatetik dan ditolak oleh Suhrawardi jika dianggap sebagai model yang dapat memberikan pengetahuan yang sejati.
Berbeda dengan ilmu hudluri, menurutnya pengetahuan yang benar hanya bisa dicapai lewat hubungan langsung (al-idlafah al-isyraqiyah) dan tanpa halangan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui.
Hubungan di antara keduanya bersifat pro-aktif, dimana subjek dan objek satu sama lain hadir dan tampak pada essensinya sendiri dan di antara keduanya saling bertemu tanpa penghalang, sehingga pengetahuan yang dibangun di antara keduanya bebas dari dualisme logis, kebenaran dan kesalahan.
Hubungan langsung (al-idlafah al-isyraqiyah) subjek yang tahu dan objek yang diketahui ini berawal dari pandangan Suhrawardi terhadap realitas.
Dalam pandangannya, realitas itu adalah rangkaian kesatuan yang satu. Hal ini juga terkait dengan pandangannya terhadap essensi dan eksistensi.
Baca Juga : Mengenal Pandangan Filsafat Jiwa Al Kindi
Baginya yang terpenting adalah essensi, dan essensi ini pada hakikatnya adalah cahaya yang bersumber dari Nur al-Anwar. Realitas, secara keseluruhan adalah cahaya yang terpancar dari Nur al-Anwar.
Dan pancaran ini terjadi secara terus menerus tanpa durasi dan membentuk suatu pancaran holistik, yakni kesatuan pancaran antar cahaya (wahdah al-isyraq).
Karena itulah, filsafatnya dikenal dengan filsafat al-Isyraq. Pemahaman semacam ini bersifat menyeluruh, yang memandang semua yang ada sebagai suatu keutuhan, bukan sekedar suatu kumpulan unsur-unsur yang lepas-lepas
Adapun kaitannya dengan epistemologi Suhrawardi, kesatupaduan obyektif realitas dirasakan pula sebagai kesatupaduan subjektif.
Penjelasan Mengenai Teori Kedasaran Diri
Persoalan bagaimana hubungan antara subjek yang tahu dengan objek yang diketahui dapat dibangun, Suhrawardi menjawabnya dengan apa yang ia sebut sebagai ‘Teori kesadaran diri Suhrawardi’ (idrak al-ana’iyah).
Menurut Suhrawardi, teori kesadaran diri sama dengan kesadaran langsung mengenai sesuatu dalam dirinya sendiri (idrak ma huwa huwa).
Akan tetapi, kesadaran diri tidak boleh dimunculkan dengan ide tentang kesadaran diri. Artinya apa, kesadaran diri tersebut tidak dilahirkan oleh ide tentang kesadaran diri melainkan oleh kesadaran itu sendiri.
Hal ini menjadi sangat penting, sebab jika kesadaran diri tersebut lahir dari ide tentang kesadaran, maka akan lahir dua hal yang berbeda, subjek yang menyadari dan objek yang disadari, sehingga tidak diketahui essensi diri sendiri.
Jika apa yang dipaparkan di atas itu terjadi, Suhrawardi pernah berkata:
“Tidak terbayangkan bahwa sesuatu mengenali dirinya dengan objek eksternal di luar dirinya, karena hal itu hanyalah sifat baginya. Jika dinyatakan bahwa setiap sifat eksternal –baik berupa pengetahuan atau yang lainnya- ditujukann untuk dirinya, maka ia harus mengenali dirinya sebelum mengenali seluruh sifat aksidental dan sejenisnya. Jadi, ia tidak mungkin mengenali dirinya dengan sifat-sifat eksternal”.
Selanjutnya upaya kita untuk memudahkan pemahaman, sebagai ilustrasi, misalnya orang mengetahui bahwa dirinya merasa sakit berasal dari kesadaran dirinya bahwa ia merasa sakit.
Pada konteks kesadaran diri saat ia merasa sakiy, maka pengetahuan semacam ini tidak dapat diragukan lagi, ia mempunyai kepastian yang tinggi, karena ia berasal dari perasaan yang ia alami secara langsung.
Baca Juga : Mengenal Teori Perubahan Sosial Ibnu Khaldun
Kesadaran semacam ini tidak akan diperoleh jika orang itu, menggunakan persepsi orang lain untuk menggambarkan bagaimana sesungguhnya rasa sakit yang ia rasakan.
Menurut Suhrawardi, ‘ teori kesadaran diri’ merupakan dimensi paling elementer dari setiap tindakan manusia untuk mengetahui objek-objek eksternal di luar manusia.
Mengetahui objek eksternal berarti menyatakan adanya suatu unifikasi eksistensial antara subjek (pikiran) dan objek (realitas benda-benda atau wujud segala sesuatu), sehingga kehadiran objek tersebut bisa dikenali secara meyakinkan.
Karena subjek hadir untuk dirinya dan mengalami pengetahuan atas dirinya, ‘keakuan’ (I-ness), maka terdapat wilayah ‘kediaan’ (it-ness) di luar subjek, yang berada di luar realitas faktual dan status ontologis subjek.
Dari analisa atau dari contoh kasus di atas dapat dipahami bahwa siapa saja yang menyadari essensinya sendiri berarti memberi kesadaran pada semua wujud.
Karena itu, dalam istilah kesadaran diri, setiap ‘aku’ secara essensial adalah sama dengan ‘aku’ yang lain, karena masing-masing adalah kesadaran diri.
Yang mungkin membedakan adalah tingkat kesadaran masing-masing. Artinya apa, berangkat dari kesadaran inilah yang dalam filsafat isyraqi disebut isfahbad al-nasut yang mengantarkan manusia untuk mengenali dirinya dan bertemu dengan essensi semesta yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Model pengetahuan yang ditawarkan oleh Suhrawardi tentang teori kesadaran diri, dimana pengetahuan tidak dijalani dengan bantuan representasi atau gambaran (surah) objek yang terpantul pada penginderaan subjek.
Melainkan pengetahuan diperoleh melalui oleh kesadaran dan perasaan yang dialami secara langsung, maka ia bebas dari tuntutan konfirmasi kebenaran dan kesalahan (tashdiq), karena pengetahuan ini ‘hadir’ begitu saja dan mewujud dalam ‘kesadaran’ subjek sehingga objek terlihat seperti apa adanya (kama huwa).
Ada satu lagi yang penting, dan menjadi ciri khas Suhrawardi, bahwa hubungan antara subjek yang tahu dengan objek yang hadir berada dibawah pancaran cahaya Nur al-Anwar.
Sekian penjelasan mengenai teori kesadaran diri, terima kasih telah mengunjungi portal website mudabicara. Jika artikel ini bermanfaat, silahkan share artikel ini ya!. Selamat membaca!