Mudabicara.com_ Puisi Chairil Anwar yang berjudul “Cintaku Jauh Di Pulau” merupakan salah satu karya yang lahir tiga tahun sebelum kepergiannya.
Penyair terkemuka Indonesia yang mendapat julukan Si Binatang Jalang ini telah menorehkan berbagai karya sastra. Tercatat 96 karya sastra telah lahir dari buah pikirannya, 70 diantaranya adalah puisi.
Dengan kemampuan linguistik yang berkemajuan, karya sastra Chairil Anwar memberikan diksi kata baru dalam khazanah perkembangan bahasa Indonesia.
Baca Juga : Mengenang Puisi Chairil Anwar Karawang Bekasi
Salah satu karya sastra Chairil Anwar yang wajib anak muda berjudul “Cintaku Jauh Di Pulau”. Berikut puisi Chairil Anwar Cintaku Jauh Di Pulau.
Cintaku Jauh Di Pulau
Chairil Anwar
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
Chairil Anwar
1946
Baca Juga : 9 Puisi Karya Chairil Anwar Yang Wajib Anak Muda Baca
Chairil Anwar, Sastra dan Sutan Sjahrir
Dalam perjalanan hidupnya Chairil Anwar menciptakan berbagai karya sastra dengan latar belakang yang berbeda-beda. Pengetahuan sastra Chairil Anwar tak terlepas dari peran Sutan Sjahrir pamannya.
Sutan Sjahrir mengantarkan Chairil Anwar ke gerbang sastra dunia. Bagi Sutan Sjahrir seorang sastrawan harus memiliki kedekatan dengan realitas kehidupan sosial.
Satrawan tak boleh memiliki jarak pada realitas sebab ia harus mengambarkan kehidupan baik pada tingkatan elit, intelektual ataupun rakyat jelata.
Oleh karena itu, Chairil Anwar memiliki kedekatan pada rakyat dan mengikuti aktivitas keseharian mereka. Hal tersebut tak terlepas dari cara Chairil Anwar mencari inspirasi diksi bahasa dalam sajak-sajaknya.
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Kalimat perahu melancar, bulan memancar merupakan salah satu bukti seorang Chairil memiliki pilihan diksi yang matang serta pemaknaan yang mendalam.
Apabila dalam bahasa lazim bergerak dengan laju yang cepat mengunakan diksi kata meluncur namun Chairil lebih memilih kata melancar.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
Pada baik kedua puisi Chairil Anwar Cintaku Jauh Di Pulau ada alimat Di air yang tenang, di angin mendayu. Kalimat tersebut membuktikan bahwa Chairil Anwar tidak hanya mendalam namun juga jenius dalam menempatkan diksi kata.
Angin mendayu, kata mendayu biasanya cocok untuk sesuatu yang hidup, namun mendayu di puisi Cintaku Jauh di Pulau mengambarkan suasana angin semilir yang bertiup.
Bisa jadi latar belakang lahirnya puisi Cintaku Jauh di Pulau tak terlepas dari pernihakannya dengan seorang pegawai di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bernama Hapsah Wiraredja.
Sebab pada 6 Agustus 1946 Chairil Anwar memilih Hapsah Wiraredja menjadi tumpuhan hati dalam mejalani hari-hari berkaryanya.
Baca Juga : Mengenal Chairil Anwar, Sastrawan Besar Indonesia
Tidak hanya memiliki kedekatan dengan kehidupan sosial masyarakat seorang Chairil juga memiliki pengetahuan tentang sastra yang berasal dari luar negeri.
Hal tersebut terbukti dari beberapa sajak-sajak terjemahanya antara lain Sajak “Le retour de l’enfant prodigue” karya André’ Gide (Perancis) dengan judul “Pulanglah Dia Si Anak Hilang”, Sajak “The Raid” karya John Steinbeck (Amerika) dengan judul “Kena Gempur” dan Sajak “De laatste dag der Hollanders op Java” karya Multatuli dengan judul “Hari Akhir Olanda di Jawa”.
Di sisi lain, Chairil juga menerjemahkan beberapa sajak dari tokoh-tokoh ternama seperti Hsu Chih Mo (Cina), Conrad Aiken (Amerika), dan W.H. Auden (Amerika), R.M. Rilke (Jerman), H. Marsman (Belanda), E. du Perron (Belanda), dan J. Slauerhoff (Belanda), Nietzsche (Jerman), John Cornford (Inggris).
Proses Berkarya Chairil Anwar
Bagi seorang Chairil Anwar, menulis karya sastra bukan pekerjaan sekali jadi namun perkerjaan yang berulang-ulang dengan penuh proses kontemplasi.
Tak jarang karya sastra terutama puisi beberapa kali mengalami revisi dan rekontruksi kata. Hal tersebut agar sebuah karya sastra memiliki makna yang mendalam dan memiliki kedekatan dengan realitas.
Oleh karena itu, karya sastra bisa hidup dan menyentuh realitas masyarakat tanpa ada batasan ruang dan waktu dan begitulah karya sastra Chairil, menerjang batas ruang dan waktu.
Baca Juga : Mengenang Puisi Nonton Harga Karya Wiji Thukul
Sebagai seorang sastrawan pelopor 45, Chairil berkarya di tengah perjuangan kemerdekaan negara Indonesia maka tidak heran berbagai karya sastra puisinya adalah puisi pamlet.
Puisi pamlet merupakan puisi yang mengunakan bahasa pamlet yang berisi sebuah ungkapan kritik dan protes tehadap keadaan sosial masyarakat.
Biasanya puisi pamlet mengambarkan ketidakpuasan terhadap kondisi masyarakat. Oleh karena itu, puisi pamlet mengunakan bahasa yang lugas, spontan.
Misalnya sajak-sajak Chairil Anwar berjudul “Karawang-Bekasi”, “Aku”, dan “Diponegoro” serta “Persetujuan dengan Bung Karno” menjadi salah satu karya sastra perjuangan.
Di sisi lain klausa “Aku ini binatang jalang” dalam sajak “Aku”, memberikankan dorongan dalam hati rakyat Indonesia untuk bebas dan merdeka.
Maka Chairil Anwar tidak hanya seorang sastrawan namun ia juga termasuk salah satu perjuangan kemerdekaan negara Indonesia.
Melalui karyanya Ia mampu membawa semangat dan inspirasi tentang perjuangan melawan penjajah dan berusaha mendapatkan kemerdekaan dengan secepat-cepatnya.
Baca Juga : Mengenang Perlawanan Wiji Thukul Lewat “Puisi Untuk Adik”
Berdasarkan catatan sejarah dalam buku Soebadio Sastrosatomo (1995) Chairil sempat menemui Soebadio dan memberikan informasi kepadanya bahwa bom atom kedua telah meleburkan Nagasaki dan sekutu mengultimatum agar Jepang segera menyerah.
Oleh karena itu Chairil datang ke Komite Bahasa Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No 23 pukul 10.00 WIB bertemu Soebadio Sastrosatomo. Fenomena kecil inilah yang melahirkan adanya peristiwa Rengasdengklok serta proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Dari kisah ini, Chairil memiliki peran dalam tercapainya kemerdekaan Indonesia. Jika tidak ada peran Chairil Anwar, mungkin akan terdapat perbedaan alur atau peristiwa yang akan tercatat dalam sejarah.
Namun sayang, seorang yang memiliki talenta sastra yang luar biasanya ini memiliki umur yang tak panjang. Tepat tiga tahun setelah melahirkan karya puisi berjudul Cintaku Jauh Di Pulau ia meninggal.
Tepat pada 28 April 1949 Indonesia tak hanya kehilangan pujangga dan sastrawan terkemuka dan penuh talenta namun Indonesia juga kehilangan sosok yang memberi warna pada perkembangan bahasa Indonesia.
Luka dan bisa kubawa berlari
Belari
Hingga hilang pedih perih
Dan akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Begitulah Chairil Anwar, karyanya akan selalu hidup dalam setiap relung perjalanan sastra Indonesia. Selamat Membaca.