Mengenal Putra Sang Fajar, Presiden Soekarno

Esai843 Dilihat

Mudabicara.com_ Siapa yang tak kenal seorang orator handal yang mampu menyulut semangat jutaan warga negara Indonesia. Siapa lagi kalau bukan Soekarno, sosok pengerak kebangkitan bangsa negara Republik Indonesia.

Kini mudabicara.com ingin mengulas sosok yang tekenal dengan sebutan putra sang fajar, sang pengerak bangsa dan orator sejati. Simak ulasan kami berikut ini :

BACA JUGA : Hari Ibu: Hari Pergerakan Perempuan Indonesia

Putra Sang Fajar, Soekarno

Presiden Soekarno dilahirkan dengan nama Koesno Sosrodiharjo saat fajar terbit tanggal 6 Juni 1901 sehingga dikenal dengan Putra Sang Fajar.

Nama Koesno kemudian diganti menjadi Soekarno. Nama ini diambil dari tokoh Karna dalam kisah Mahabarata. Masyarakat Jawa percaya bahwa prang yang dilahirkan saat fajar akan menjadi orang besar dan menjadi penerang bangsa.

BACA JUGA : Wajah Politik Bebas Aktif Hatta Versus Soekarno

Presiden Soekarno menjadi salah satu tokoh pergerakan kebangsaan yang paling berpengaruh dalam sejarah bangsa Indonesia. Ia merupakan presiden Republik Indonesia ini adalah penggagas Marhaenisme.

Presiden Soeakarno juga menjadi salah satu penyusun Pancasila sebagai dasar negara. Tak hanya di akui rakyat Indonesia kharisma dan kefasihan berbahasa Presiden Soekarno memukau para pemimpin dunia. Ia juga menjadi sosok kunci adanya konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-block.

Kecintaannya terhadap rakyat Indonesisa membuat Presiden Soekarno dicintai bahkan menjadi idola rakyat Indonesia hingga kini. Presiden Soekarno terkenal gigih, pantang menyerah dan rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan Indonesia.

Dalam pidatonya yang berjudul Mengali Api Pancasila, Presiden Soekarno menegaskan kecintaan kepada rakyat Indonesia, “aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat, dan aku penyambung lidah rakyat”. 

Kharisma dan gaya bertutur presiden Soekarno memang tidak hanya disegani lawan bicara tetapi juga seluruh dunia. Hari ini mungkin kita hanya bisa melihatnya melalui video namun hal itu pun masih membuat banyak orang terkagum.

Cuplikan Teks Pidato Soekarno

Tertulis pada Genta Suara Republik Indonesia – Amanat Presiden Soekarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1963 di Jakarta

Saudara-saudara sekalian!

Sebagaimana biasa, maka pada tiap-tiap hari 17 Agustus saya berdiri di hadapan saudara-saudara sekalian. Ini kali di Stadion-Utama Gelora Bung Karno, sedang dahulu selalu di muka Istana Merdeka.

Tetapi pada pokoknya : berhadapan dengan Rakyat Indonesia, – muka dengan muka, wajah dengan wajah, jiwa dengan jiwa, semangat dengan semangat, tekad dengan tekad – Rakyat Indonesia, baik yang terkumpul di stadion ini, maupun di seluruh Nusantara melalui radio dan televisi, maupun yang di luar negeri melalui radio dan televisi pula.

BACA JUGA : 10 Manfaat Belajar Hubungan Internasional Untuk Anak Muda

Dan sayapun sadar, bahwa saya pada tiap hari 17 Agustus itu berhadapan pula dengan dunia luar yang bukan Indonesia, baik sebagai kawan berhadapan dengan kawan, maupun sebagai lawan berhadapan dengan lawan.

Dengan kawan-kawan itu saya laksana bermusyawarah atau berkonsultasi antara Ego dengan Alter Ego, – dengan lawan-lawan itu saya tanpa tédéng aling-aling laksana berkonfrontasi “ini dadaku mana dadamu!”.

Sebab di sini saya berdiri tidak sebagai Sukarno-pribadi, tetapi sebagai Sukarno penyambung lidah Rakyat Indonesia, – sebagai Sukarno Penyambung Lidah Revolusi Indonesia!

Soekarno Kutu Buku

Presiden Soekarno menghabiskan sebagian masa kecilnya dengan membaca dan belajar. Beranjak dewasa Soekarno gemar mengunjungi perpustakaan besar. Disanalah ia bertemu dengan tokoh-tokoh nasional yang turut membentuk pemikirannya saat dewasa.

Putra Sang Fajar Soekarno
Source: wikipedia

Bukan rahasia lagi memang jika Soekarno sudah menyukai buku sejak kecil. Kesukaan Soekarno terhadap buku berawal dari bapaknya Raden Soekemi Sosrodihardjo yang aktif sebagai anggota perkumpulan Theosofi. 

Berkat keaktifan bapaknya Soekarno memiliki supply buku lebih banyak dari pada teman sebayanya. Ia dapat mengakses dengan leluasa perpustakaan milik Theosofi tersebut. Bagi Soekarno yang gemar membaca perpustakaan Theosofi seolah harta karun yang tak ternilai harganya.

BACA JUGA : Mengenal Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Saat berusia sekitar 14 tahun, Soekarno harus meninggalkan orang tuanya di Modjokerto untuk melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat menengah di Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya.

Perpindahan tersebut tak membuatnya meninggalkan kecintaanya terhadap buku. Di saat anak sebayanya menghabiskan waktu untuk bermain, Soekarno muda menghabiskan waktu membaca dan belajar. Buku merupakan tempat Soerkano mencari oase dari keringnya ilmu pengetahuan.

Bertemu Haji Omar Said (HOS) Tjokroaminoto

Selama di Surabaya Soekarno tinggal di pondokan milik Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto seorang tokoh pergerakan nasional yang kemudian hari menjadi gurunya yang paling mashur. 

Di tempat H.O.S Tjokroaminoto, Soekarno memiliki keberuntungan sebab sepulang sekolah formal ia dapat mengakses dengan leluasa buku-buku koleksi  Sarekat Islam. 

“Oemar Said Tjokroaminoto berumur 33 tahun ketika aku datang ke Surabaya. Pak Tjokro mengajarku tentang apa dan siapa dia, bukan tentang apa yang ia ketahui ataupun tentang apa jadiku kelak. Seorang tokoh yang mempunyai daya cipta dan cita‐cita tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah darahnya. Pak Tjokro adalah pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar ia menggemblengku. Aku duduk dekat kakinya dan diberikannya kepadaku buku‐bukunya, diberikannya padaku miliknya yang berharga,” cerita Soekarno disampaikan kepada Cindy Adams.

BACA JUGA : Penundaan Pemilu dan Ancaman Populisme

Tercatat koleksi buku Soekarno mencapai seribu lebih. Sehingga saat diasingkan di Ende kemudian Bengkulu ia menghabiskan waktu sehari-harinya dengan membaca buku.

Selepas meninggalkan tempat pengasingan pun ia tetap wajib membawa bukunya dan tak satu pun tertinggal. Seluruh buku ikut bersamnya kembali ke Jakarta.

“Dalam koleksi bukunya itu terdapat buku-buku yang membicarakan fasisme serta cara-cara mengalahkannya. Misalnya, tulisan Willy Munzenberg yang berjudul ‘Propaganda als Waffe’, atau karangan Ernst HenDry yang berjudul ‘Hitler Over Rusia’. Koleksi buku Soekarno yang sedemikian banyak disertai perenungan yang dalam mengantarkannya untuk merumuskan dasar negara,” ungkap Peter Kasenda dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi (2014).

Pecinta Seni dan Penulis Hebat

Dalam biografinya yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia juga mencintai seni.

Presiden Soekarno sangat bersyukur karena lahir dari keluarga yang memiliki darah seni dan terbiasa mengasah kehalusan budi. Ia juga merupakan penulis yang hebat. Hal ini terlihat dari beberapa naskah dramanya yang pernah tampil di Ende Flores.

BACA JUGA : Pergeseran Aktor dan Wajah Baru Kebijakan Luar Negeri Indonesia Pasca Reformasi

Buku karya Soekarno yang fenomenal berjudul Di Bawah Bendera Revolusi. Buku tersebut terdiri dari dua jilid dan kiranya genarasi muda Indonesia dapat membaca bukunya karya putra sang fajar Soekarno.

 

Tulisan Terkait: