15 Puisi Taufiq Ismail Yang Wajib Anak Muda Baca

Sastra12776 Dilihat

Mudabicara.com_ Puisi Taufiq Ismail merupakan puisi yang wajib dibaca oleh anak muda sebab latar belakang karya puisinya tak lepas dari narasi-narasi perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Tak heran puisi Taufiq Ismail memiliki nuansa nasionalisme tinggi sekaligus sarat akan nilai-nilai religiusitas sebab realitas hidup yang nampak adalah kolonialisme dan penindasan.

Pemikiran yang lugas, idealis dan bebas membuat tokoh sastrawan ini terkenal hingga kini, bahkan namanya terpatri dalam berbagai pelajaran sastra dan Bahasa Indonesia.

Baca Juga : Apa Saja Istilah Dalam Karya Sastra, Ini Jawabanya?

Lalu apa saja puisi Taufiq Ismail  yang wajib anak muda baca, selengkapnya silahkan baca ulasan berikut ini:

Sekilas Tentang Taufiq Ismail

Sastrawan kelahiran Bukittinggi 1935 telah mewarnai berbagai jalan terjang dunia kesustraan Indonesia yang penuh dengan kontemplasi perjuangan.

Sebagai seorang sastrawan Taufiq Ismail memilih jurusan kuliah yang relatif jauh dari dunia tulis menulis. Ia mengambil kuliah jurusan Kedokteran Hewan.

Hal tersebut ia lakukan agar memiliki bisnis perternakan yang kemudian dapat membiayainya terus menulis puisi dan sastra. Pilihan yang tentu diluar logika umum namun begitu sastrawan, ia berpikir di luar gelombang mayoritas.

Semasa kuliah ia aktif diberbagai organisasi salah satunya Pelajar Islam Indonesia dan Ketua Senat Mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia.

Sepak terjang dalam dunia sastra tidak hanya di dalam negeri namun beranjak ke dunia Internasional. Puisi Taufiq Ismail sering menghiasai berbagai majalah dan koran pada zamannya.

13 Puisi Taufiq Ismail Yang Wajib Anak Muda Baca

Puisi Taufiq Ismail

Berikut 13 puisi Taufiq Ismail pilihan mudabicara yang wajib anak muda baca sebagai bahan kontemplasi kehidupan sosial masyarakat.

1. Doa (1966)

Tuhan kami,
Telah nista kami dalam dosa bersama,
Bertahun membangun kultus ini,
Dalam pikiran yang ganda…
Dan menutupi hati nurani,
Ampunilah kami,
Ampunilah,
Amin…
Tuhan kami,
Telah terlalu mudah kami,
Menggunakan asmamu,
Bertahun di negeri ini,
Semoga…
Kau rela menerima kembali,
Kami dalam barisanmu,
Ampunilah kami,
Ampunilah,
Amin…

2. Dengan Puisi, Aku (1966)

Dengan puisi aku bernyanyi,
Sampai senja umurku nanti,
Dengan puisi aku bercinta,
Berbatas cakrawala…
Dengan puisi aku mengenang,
Keabadian Yang Akan Datang,
Dengan puisi aku menangis,
Jarum waktu bila kejam mengiris…
Dengan puisi aku mengutuk,
Nafas zaman yang busuk,
Dengan puisi aku berdoa,
Perkenankanlah kiranya…
Baca Juga : 13 Puisi Kuntowijoyo Yang Wajib Anak Muda Baca

3. Karangan Bunga

Tiga anak kecil

Dalam langkah malu-malu

Datang ke Salemba

Sore itu

“Ini dari kami bertiga

Pita hitam pada karangan bunga

Sebab kami turut berduka

Bagi kakak yang ditembak mati

Siang tadi.”

4. Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini (1966)

Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
Duli Tuanku ?
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.

5. “Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu?”

Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamar tidurku bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu yang berdarah.

Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat sebesar saputangan, lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam file lemari kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas mereka.

Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatu-sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun yang silam, di bawahnya ada kolam ikan yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi airmataku.

Palestina! bagaimana bisa aku melupakanmu?

Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka, menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit?!! serasa anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka.

Tapi saksikan tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka.

Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-Qassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi;

‘Allahu Akbar!’ dan ‘Bebaskan Palestina!’

Ketika pabrik tak bernama, 1000 ton sepekan memproduksi dusta, menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara, membangkangit resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia, membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat dan semua pejuang negeri anda, aku pun berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia:

“Doakan, doakan, doakan kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang menapak jalanNya! yang ditembaki dan kini dalam penjara, lalu dengan kukuh kita bacalah ‘laquwwatta illa bi-Llah!’, ‘laquwwatta illa bi-Llah!’, ‘laquwwatta illa bi-Llah!’”

Palestina! bagaimana bisa aku melupakanmu?

Tanahku jauh, tanah kami jauh bila diukur kilometer. Beribu-ribu kilometer jauh jaraknya, tapi adzan Masjidil Aqsa yang merdu serasa terdengar di telingaku, serasa terdengar di telinga kami, di Indonesia.

 

6. Kembalikan Indonesia Padaku (Paris, 1971)

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
Sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
Yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
Dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
Karena seratus juta penduduknya,
Baca Juga : 22 Puisi Wiji Thukul Yang Wajib Anak Muda Baca

7. Mencari Sebuah Mesjid (Jeddah, 1988)

Aku diberitahu tentang sebuah masjid

yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan

fondasinya batu karang dan pualam pilihan

atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan

dan kubahnya tembus pandang, berkilauan

digosok topan kutub utara dan selatan

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan

dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran

dengan warna platina dan keemasan

berbentuk daun-daunan sangat beraturan

serta sarang lebah demikian geometriknya

ranting dan tunas jalin berjalin

bergaris-garis gambar putaran angin

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya

menyentuh lapisan ozon

dan menyeru azan tak habis-habisnya

membuat lingkaran mengikat pinggang dunia

kemudian nadanya yang lepas-lepas

disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas

yang memperindah ratusan juta sajadah

di setiap rumah tempatnya singgah

Aku rindu dan mengembara mencarinya

 

Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana

bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya

engkau berjalan sampai waktu asar

tak bisa kau capai saf pertama

sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu

bershalatlah di mana saja

di lantai masjid ini, yang luas luar biasa

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya

yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya

dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya

di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian

yang menyimpan cahaya matahari

kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan

ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna

di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta

terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita

Aku rindu dan mengembara mencarinya

Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya

tempat orang-orang bersila bersama

dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka

dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian

dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan

dalam simpul persaudaraan yang sejati

dalam hangat sajadah yang itu juga

terbentang di sebuah masjid yang mana

Tumpas aku dalam rindu

Mengembara mencarinya

Di manakah dia gerangan letaknya ?

Pada suatu hari aku mengikuti matahari

ketika di puncak tergelincir dia sempat

lewat seperempat kuadran turun ke barat

dan terdengar merdunya azan di pegunungan

dan aku pun melayangkan pandangan

mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan

ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan

dia berkata :

Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan¡

dia menunjuk ke tanah ladang itu

dan di atas lahan pertanian dia bentangkan

secarik tikar pandan

kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran

airnya bening dan dingin mengalir beraturan

tanpa kata dia berwudhu duluan

aku pun di bawah air itu menampungkan tangan

ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan

hangat air terasa, bukan dingin kiranya

demikianlah air pancuran

bercampur dengan air mataku

yang bercucuran.

Baca Juga : Mengenang Puisi Chairil Anwar Karawang Bekasi

8. Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal (1966)

Pengkhianatan itu telah terjadi

Pengkhlanatan itu terjadi pada tanggal 9 Maret

Ada manager-manager politik

Ada despot yang lalim

Ada ruang sidang dalam istana

Ada hulubalang

Serta senjata-senjata

Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka tapi la la la

di sana tak ada kepala

tapi hu hu hu

tak ada kepala di atas bahu

Adalah tempolong ludah

Sipoa kantor dagang

Keranjang sampah

Melayang layang

Ada pernyataan otomatik

Ada penjara dan maut imajiner

Generasi yang kocak

Usahawan-usahawan politik yang kocak¡­

Ruang sidang dalam istana

La la la

tempolong ludah tak berkepala

Hu hu hu

keranjang sampah di atas bahu

Angin menerbangkan kertas-kertas statemen Terbang

Melayang layang.

Baca Juga : 13 Puisi Cinta W.S Rendra Yang Wajib Anak Muda Baca

9. Bendera Laskar (1966)

Kali pertama, di halaman kampus, pagi itu

Telah berkibar bendera laskar

Berkibar putih bagai mega

Dengan garis-garis yang merah

Karena telah dibayar dengan darah

Dia telah mendengar teriakan kita

Sepanjang jalan-jalan raya

Di atas truk tanpa tenda

Di atas jip, di depan pawai-pawai semua

Dia selalu mendahului kita

Dalam setiap gerakan

Kepadanya berbagi nestapa kita

Duka setengah tiang

Duka sejarah rnanusia

Yang telah lama dihinakan

Dan dimelaratkan

Di depan markas, berkibar bendera laskar

Kami semua melambaimu

Hai kawan dan lambang kami yang setia

Lambailah sejarah dari atas sana

Buat kami satu laskar

Buat generasi yang kukuh dan kekar.

10. Kerendahan Hati

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
Yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
Yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
Memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air
Tidaklah semua menjadi kapten
Tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
Rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri

11. Silhuet (1965)

Gerimis telah menangis

Di atas bumi yang lelah

Angin jalanan yang panjang

Tak ada rumah. KIta tak berumah

Kita hanya bayang-bayang

Gerimis telah menangis

Di atas bumi yang letih

Di atas jasad yang pedih

Kita lapar. Kita amat lapar

Bayang-bayang yang lapar

Gerimis telah menangis

Di atas bumi yang sepi

Sehabis pawai genderang

Angin jalanan yang panjang

Menyusup-nyusup

Menusuk-nusuk

Bayang-bayang berjuta

Berjuta bayang-bayang

Di bawah bayangan pilar

Di bawah bayangan emas

Berjuta bayang-bayang

Menangisi gerimis

Menangisi gunung api

Kabut yang ungu

Membelai perlahan

Hutan-hutan

Di selatan.

Baca Juga : 9 Puisi Karya Chairil Anwar Yang Wajib Anak Muda Baca

12. Refleksi Seorang Pejuang Tua (1966)

Tentara rakyat telah melucuti Kebatilan

Setelah mereka menyimak deru sejarah

Dalam regu perkasa mulallah melangkah

Karena perjuangan pada hari-hari ini

Adalah perjuangan dari kalbu yang murni

Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya

Kecuali dua puluh tahun yang lalu

Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya

Pelajar muda berlarian ke jalan-jalan raya

Mereka kembali menyeru-nyeru

Nama kau, Kemerdekaan

Seperti dua puluh tahun yang lalu

Spiral sejarah telah mengantarkan kita

Pada titik ini

Tak ada seorang pun tiran

Sanggup di tengah jalan mengangkat tangan

Danberseru: Berhenti!

Tidak ada. Dan kalau pun ada

Tidak bisa

Karena perjuangan pada hari-hari ini

Adalah perjuangan dimulai dari sunyi

Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya Kecuali duapuluh tahun yang lalu.

13. Membaca Tanda-Tanda

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya tidak begitu jelas
tapi kita kini mulai merindukannya

Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pergi hari

Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam didesak asam arang dan karbon dioksid itu menggilas paru-paru

Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?

Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani api dan batu
Allah
Ampunilah dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
akan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kami mulai merindukannya

Baca Juga : Mengenang Puisi Chairil Anwar “Cintaku Jauh Di Pulau”

14. Dari Catatan Seorang Demonstran (Jakarta, 1993)

Inilah peperangan

Tanpa jenderal, tanpa senapan

Pada hari-hari yang mendung

Bahkan tanpa harapan

Di sinilah keberanian diuji

Kebenaran dicoba dihancurkn

Pada hari-hari berkabung

Di depan menghadang ribuan lawan

15. Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis (1998)

Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri

Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan

Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami

Sejak lahir sampai dewasa ini

Jadi sangat tepergantung pada budaya

Meminjam uang ke mancanegara

Sudah satu keturunan jangka waktunya

Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula

Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni

Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi

Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini

Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi

Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia

Kita gadaikan sikap bersahaja kita

Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta

Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka

Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita

Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia

Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama

Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia

Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi

Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri

Sambil kepala kita dimakan begini

Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti

Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi

Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni

Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama

Menggigit dan mengunyah teratur berirama

Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi

Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini

Bagai ikan kekurangan air dan zat asam

Beratus juta kita menggelepar menggelinjang

Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang

Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya

Meminjam kepeng ke mancanegara

Baca Juga : Mengenang Puisi Nonton Harga Karya Wiji Thukul

Dari membuat peniti dua senti

Sampai membangun kilang gas bumi

Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi

Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi

Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri

Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis

Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis

Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa

Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa

Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya

Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami

Kalian lah yang membuat kami jadi begini

Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi

Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini

 

Sekian penjelasan mengenai puisi Taufiq Ismail, terima kasih telah mengunjungi portal website mudabicara. Jika kalian merasa artikel ini bermanfaat, silahkan share artikel ini. Selamat membaca, terimakasih!

Tulisan Terkait: