Mudabicara.com_ Teori parepatetik sering dikenal dengan filsafat paripatetik merupakan aliran filsafat yang memiliki satu bentuk pandangan tentang cara mendapatkan pengetahuan manusia melalui penalaran akal dan rasio.
Aliran filsafat parepatetik memiliki berbagai tokoh besar antara lain Ibnu Sina, Al-Faraby, Al-Kindi, dan Ibnu Rusyd. Meskipun demikian aliran silogisme yang bertumpu pada akal dan rasio ini memiliki berbagai kritik oleh para pemikir filsafat.
Salah satu kritik lahir dari seorang pemikir islam ternama dari Iran yakni Suhrawardi. Lalu bagaimana kritik Suhrawardi terhadap teori parepatetik. Selengkapnya simak ulasan mudabicara berikut ini:
Baca Juga : Mengenal Teori Kesadaran Diri Suhrawardi
Sekilas Tentang Sosok Suhrawardi
Suhrawardi bernama lengkap Syihab Al-Din Yahya Bin Habbas Bin Amirak Suhrawardi, lahir sebuah desa dekat kota Zinjan bernama Suhrawar daerah Iran Selatan pada tahun 549 H atau 1155 M.
Latar belakang pendidikan Suhrawardi berawal dari seorang guru bernama Majd Al Din Al Jili yang mengajarkan tentang teologi dan filsafat.
Setelah belajar teologi dan filsafat, Suhrawardi berguru kepada Fahruddin Al Mardini. Melalui Fahruddin Al Mardin, Suhrawardi mengenal berbagai bidang ilmu yang membawanya sampai ke meja pengadilan.
Suhrawardi mashyur dengan julukan Al Maqtul yang berarti terbunuh atau al Syahid. Hal tersebut dikarenakan Suhrawardi menghembuskan nafas terakhir karena terbunuh oleh seorang utusan Al Malik Az-zahir, seorang Raja Aleppo.
Baca Juga : Mengenal Pandangan Ibnu Rusyd Tentang Wahyu dan Rasio
Alasan Raja Al Malik Az-Zahir melakukan pembunuhan terhadap Suhrawardi karena menganggap ajaran tasawuf yang diajarkannya telah melenceng dari tuntunan agama. Oleh karena itu, tokoh yang juga di nisbatkan sebagai Syech al Isyraq dibunuh pada tahun 587 H atau 1197 M.
Sejarah Awal Teori Peripatetik
Secara epistimologi kritik Suhrawardi terhadap filsafat peripatetik merupakan solusi dari metode berpikir yang mana meletakan logika sebagai satu-satunya instrumen kebenanaran.
Latar belakang dari filsafat peripatetik tak lain adalah seorang filosuf awal Yunani yakni Aristoteles melalui karya yang berjudul Organon.
Dalam konteks metode berpikir Aristoteles merupakan orang pertama yang menyusun tentang cara berpikir secara teratur dan sistematis.
Ia membawa ajaran logika atau silogisme yang mana menarik kesimpulan dari realitas yang bersifat umum menjadi realitas yang bersifat khusus. Pada waktu itu logika menjadi alat untama mencari kebenaran yang paling unggul.
Baca Juga : Mengenal Pandangan Filsafat Jiwa Al Kindi
Sedangkan dalam konteks keilmuwan Filsafat Islam tokoh pertama yang mengenalkan teori filsafat peripatetik adalah Al Kindi. Ia menerjemahkan karya organon Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Di bawah Al kindi tentu teori peripatetik belum terkenal dan berkembang.
Ilmu logika baru menemukan tempat dalam pendidikan filsafat Islam ketika di tangan tokoh Al farabi dan Ibnu Sina. Melalui kedua tokoh tersebut ilmu logika mengalami perkembangan signifikan dan menjadi discourse utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Bukti bahwa ilmu logika menjadi titik tumpu pengembangan ilmu pengetahuan dibuktikan dengan lahirnya beberapa tokoh besar seperti Al-Ghazali, Fakhr ad-Din Ar-Razy dan lain sebagainya.
Namun yang perlu menjadi catatan tidak semua tokoh di atas langsung setuju namun banyak juga yang melakukan kritik terhadap cara pandang filsafat peripatetik.
Kritik Suhrawardi Terhadap Teori Parepatetik
Kritik pertama muncul dari tokoh Al Ghazali melalui karyanya berjudul Tahafut Al-falasifah. Kritik kedua datang dari Suhrawardi yang menjelaskan sekaligus mengkritik kekurangan logika Aristoteles.
Suhrawardi memiliki pandangan bahwa teori parepatetik tidak bisa mencapai dan menjelaskan seluruh pengetahuan dalam realitas wujud. Baginnya pengetahuan tentang sesuatu tidak dapat diperoleh hanya dengan cara mendefinisika arti essensialis.
Atas dasar kekurangan tersebut, Suhrawardi menawarkan metode intuisi dengan ‘kesadaran diri’ sebagai elemen penting dalam pencapaian kebenaran sejati.
Baca Juga : Mengenal Teori Perubahan Sosial Ibnu Khaldun
Sebagai mana di atas, tokoh pertama yang mengkritik teori parepatetik adalah Al-Ghazali meskipun faktanya di masa Al-Ghazali ilmu logika malah menjadi intrumen utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Hal tyersebut disampaikan oleh Ibnu Taimiyah bahwa di masa Al-Ghazali logika malah mempunyai kedudukan yang penting dan berpengaruh dalam mengembangkan teori-teori para pemikir dan teolog.
Artinya kritik Al-Ghazali tidak berarti cara berpikir teori Parepatetik hilang sebab faktanya ilmu logika malah menjadi intrumen pengembangan ilmu pengetahuan bahkan ushul fiqih.
Beberapa dekade setelahnya Fakhr ad-Din ar-Razi (1149-1209 M.) seorang tokoh filsafat islam membawa teori parepatetik menemukan performa terbaiknya dalam diskursus teologi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kritik Al-Ghazali dalam buku tahafut al-falasifah tidak tertuju pada logika sebagai teori ilmu pengetahuan sehingga kritik Suhrawardi seakan menjadi oase kejenuhan para filosof muslim terhadap teori parepatetik.
Meskipun Suhrawardi bukan orang pertama sebab banyak tokoh filsafat islam lain yang juga mengkritik teori parepatetik seperti Imam asy-Syafi’i, as-Sirafi, dan Fakhr ad-Din Ar-Razi.
Baca Juga : Mengenal Teori Realitas Alam Semesta Anaxagoras
Untuk dua dari yang pertama lebih tepatnya disebut sebagai tokoh yang menolak (refutations) logika, adapun yang terakhir sebagai pengkritik logika untuk dikembangkan lebih lanjut.
Dan meski ada penolakan dari para tokoh filsafat islam sedemekian rupa, nampaknya dominasi logika masih sangat terasa pada zamannya Suhrawardi.
Menurut pemikiran sebelumnya, khususnya kaum peripatetik, pengetahuan diperoleh lewat definisi, konsepsi-konsepsi (tashawur) dan logika.
Ini terjadi, karena objek yang diketahui bersifat independen dan keberadaannya berada di luar eksistensi subjek. Di antara keduanya tidak ada keterkaitan logis, ontologis atau bahkan epistemologis.
Karena itu pengetahuan ini menuntut adanya konfirmasi (tashdiq) untuk menentukan kriteria salah dan benar. Dikatakan benar jika ada kesesuaian antara konsepsi dalam pikiran subjek dengan kondisi objektif eksternal objek; dianggap salah jika tidak ada keseuaian di antara keduanya.
Suhrawardi mengkritik proses pengetahuan seperti itu yang menjadikan objek bersifat independen, yang eksistensinya terletak di luar eksistensi subjek.
Suhrawardi menyatakan bahwa teori tersebut tidak mampu memberikan pengetahuan sejati. Suhrawardi menganggap teori peripatetis gagal membangun teori pengetahuan yang mapan, yang dapat mendatangkan pengetahuan yang sebenarnya.
Kelemahan-kelemahan yang menonjol dalam logika terdapat pada definisi. Dan definisi inilah yang menjadi dasar dari proposisi-proposisi dalam logika.
Bagi Suhrawardi, untuk mendefinisikan sesuatu tidak cukup hanya dengan menyebutkan essensi alaminya saja. Sebab ada ciri khusus yang dimiliki oleh sesuatu itu, di dalamnya juga terdapat sifat-sifat lain yang menyertainya dan menjadi pertimbangan dalam proses definisi.
Oleh karena itu, sebuah definisi tidak cukup hanya dengan menyebutkan essensi paling khusus dari sesuatu tetapi juga harus menyertakan sifat-sifat lainnya.
Baca Juga : Menelaah Teori Sosial Profetik Kuntowijoyo, Intelektual Muslim Indonesia
Pasalnya, jika untuk mendefinisikan sesuatu harus mengetahui atribut khusus dari sesuatu itu, yang tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain, akan mengakibatkan seseorang tidak sampai pada pengetahuan yang baru apabila orang tersebut belum pernah mengetahuinya.
Dari keharusan menyebutkan sifat-sifat yang lain yang berdampingan dengan sifat khusus yang dimiliki oleh sesuatu yang didefinisikan, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan melalui definisi tidak sempurna, sebab semua sifat-sifat bawaan yang terdapat pada segala sesuatu tidak akan pernah mampu ditampung dalam sebuah definisi.
Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa Suhrawardi menolak sama sekali keabsahan definisi untuk memperoleh pengetahuan.
Dia hanya menegaskan bahwa definisi tidak akan mampu mengantarkan seseorang pada pengetahuan yang sebenarnya, namun pada batas tertentu dia masih mengakui metode definisi sebagai salah satu sarana untuk mencapai pengetahuan.
Bagi Suhrawadi, agar dapat diketahui, sesuatu harus terlihat seperti apa adanya (kama huwa) sehingga pengetahuan yang diperoleh memungkinkannya tidak butuh definisi (istighna ‘an al-ta’rif).
Misalnya warna hitam. Warna hitam hanya bisa diketahui jika terlihat seperti apa adanya, dan sama sekali tidak bisa didefinisikan oleh dan untuk orang yang tidak pernah melihat sebagaimana adanya.
Sekian penjelasan mengenai Kritik Suhrawardi terhadap teori parepatetik, terima kasih telah mengunjungi portal website mudabicara. Jika merasa artikel ini bermanfaat, silahkan share artikel ini. Terima Kasih