Mudabicara.com_Berbagai kampanye perlawanan untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) terjadi di pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara (Sultra) baik melalui metode aksi demontrasi maupun wacana media sosial.
Perihal aksi demontrasi besar-besaran warga Wawonii terakhir berlangsung pada maret 2019 lalu. Warga menolak aktifitas pertambangan. Mereka mendatangi kantor gubernur dan meminta agar gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi mencabut IUP pertambangan.
BACA JUGA : MOMENTUM PROPOSAL EKOSIDA DI INDONESIA
Penolakan itu terjadi karena beberapa alasan yakni Wawonii adalah pulau kecil yang hanya seluas 715 kilometer persegi, tidak layak untuk aktifitas pertambangan. Kemudian penyerobotan lahan pertanian sebagai sumber penghidupan utama warga. Sebab Efek pertambangan menjadikan konflik agraria dan krisis lingkungan muncul kembali
Sekitar 300 warga Wawonii terlibat sekaligus organisasi mahasiswa bersatu dalam aliansi bernama Front Rakyat Sultra Bela Wawonii. Aksi itu berujung ricuh dengan oknum aparat Satpol PP dan polisi. Tembakan gas air mata dalam peristiwa tragis tersebut.
Bahkan, terjadi pemukulan terhadap massa aksi hingga menyebabkan beberapa orang terpaksa masuk rumah sakit.
Kericuhan pertama terjadi di depan kantor Gubernur, kemudian kericuhan kedua usai pertemuan antara Kadis Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra, Andi Azis, dengan warga.
“Kawan kami dipukuli Pol PP dan Polisi seperti binatang. Walau sudah terjatuh masih juga dipukuli menggunakan rotan,” kata Mando, kordinator lapangan.
Mando mengatakan aksi mereka adalah aksi damai. Warga hanya ingin bertemu Gubernur H. Ali Mazi agar mencabut 15 IUP di Wawonii.
Mando juga kecewa atas sikap Wakil Gubernur Lukman Abunawas. Walau warga sudah dipukul dan ditembak gas air mata Lukman tidak mau menemui massa aksi. Ia hanya mengutus Pak Andi Azis.
Mando menilai alasan Lukman Abunawas, tak mau menemui massa karena takut. Pasalnya kata mando kelimabelas izin tambang ini, terbit saat Lukman menjadi Bupati Konawe pada 2007-2013.
Pemerintah Sultra Lambat
Andi Azis selaku Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menanggapi tuntutan massa aksi, ia menyampaikan enam poin.
Pertama, Di Daerah Wawonii ada 18 IUP dengan rincian 7 IUP mineral logam dan batuan dan 11 IUP non mineral logam dan batuan.
BACA JUGA : MEMBACA BUKU, JEMBATAN MENUJU KESUKSESAN
Kedua, Persoalan koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Ketiga, Pemprov akan mendatangi kementerian ESDM dan Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Keempat, menyiapkan strategi apabila ada gugatan dari perusahaan. Kelima, pemerintah akan menelaah risiko pencabutan IUP. Keenam, Pemerintah akan menurunkan tim di lokasi melihat dan mendalami bagaimana duduk persoalan.
Dia berjanji, membahas aspirasi pendemo, dalam rapat internal yang dipimpin langsung Gubernur Sultra.
“Ini kami akan tindaklanjuti dan koordinasi dengan lembaga-lembaga baik daerah maupun pusat. Banyak yang harus kami koordinasikan dengan para lembaga-lembaga berwenang,” katanya.
Janji Kampanye
Menanggapi hal itu, Mando selaku kordinator warga menolak tambang menilai Gubernur Sulawesi Tenggara H. Ali Mazi lambat mencabut IUP di Wawonii.
Gubernur juga terkesan membiarkan masalah ini berlarut dan rela melihat korban berjatuhan.
Ia menjelaskan bahwa masalah di Wawonii sejatinya sudah disampaikan sejak kampanye Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra 2018.
Kala Ali Mazi menginjakkan kaki di Wawonii warga sudah menyampaikan keluhan soal tambang. Kala itu, Ali Mazi berjanji siap menolak pertambangan di Pulau Wawonii.
Sayanganya setelah duduk jadi gubernur, Ali Mazi seakan lupa ingatan. Hal itu terlihat pada program 100 hari Ali Mazi.
“Tak ada penyelesaian konflik Wawonii. Kami sampaikan lewat demo di DPRD Sultra, hasilnya DPRD mengeluarkan rekomendasi agar gubernur segera mencabut IUP. Sampai sekarang, masuk 2019, IUP tidak juga dicabut,” kata Mando.
Mando mengatakan masalah tambang di Wawonii menabrak setidaknya dua aturan, UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan Peraturan Pemerintah Sulawesi Tenggara tahun 2014.
Dijelaskannya, yang masuk IUP penambangan di Wawonii, ada enam kecamatan dengan luas 23.373 hektar atau 32,08% dari total daratan Kepulauan Wawoni, hanya 73.992 hektar.
Berdasarkan UU Nomor 1/2014 tentang Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, luasan suatu wilayah yang bisa ditambang lebih dari 2.000 kilometer persegi. Luasa wilayah Wawonii, hanya 700-an lebih kilometer persegi, atau 73.000-an hektar.
Enam kecamatan yang masuk dalam wilayah IUP, kata Mando, Wawonii Barat, Wawonii Tengah, Wawonii Selatan, Wawonii Timur, Wawonii Utara, dan Wawonii Tenggara.
Dalam RTRW Sultra No 2/2014, Pasal 39, menjelaskan, Wawonii tidak untuk kawasan pertambangan. Wawonii hanya buat pertanian, perikanan dan pariwisata.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Konawe Kepulauan juga menyebutkan, pulau ini rawan bencana longsor dan banjir.
BACA JUGA : 10 MANFAAT BELAJAR SOSIOLOGI UNTUK ANAK MUDA
Dari rincian itu tersebut gubernur seharusnya sudah bisa mencabut IUP di Wawonii. Sayangnya dari keterangan-keterangan itu Ali Mazi belum bisa mengambil sikap.
“Kami hanya mempertahankan budaya kami. Kami petani dan pengusaha jambu mete dan kopra. Bukan penambang. Kami takut daerah rusak. Ini yang kami perjuangkan,”
tegas Mando
Gubernur Unjuk Sikap
Gubernur Sulawesi Tenggara, H. Ali Mazi akhirnya menyikapi aksi unjuk rasa sebagaimana janji pemerintah kepada massa aksi perihal pencabutan IUP di Wawonii sebelumnya.
Gubernur mencabut sejumlah IUP di Wawonii. Tercatat sekitar sembilan izin usaha pertambangan (IUP) di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) yang dicabut dan enam IUP lainnya dibekukan tanpa batasan waktu.
BACA JUGA : RATUSAN KOLEKSI BERHARGA MUSEUM SULAWESI TENGGARA HILANG
Pencabutan izin itu berdasarkan keputusan rapat internal Ali Mazi bersama seluruh pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD), Bupati dan Wakil Bupati Konkep dan beberapa stakeholder lain.
Ali mengatakan pencabutan izin ini sudah sesuai UU Mineral dan Batubara (Minerba). Sembilan izin tambang sudah habis masa berlaku. Perusahaan tak ada kegiatan sama sekali dan tak membayar kewajiban kepada negara.
Sementara enam izin lain dibekukan karena masih menunggu proses dan kajian hukum dari beberapa ahli dengan melibatkan Biro Hukum Pemprov Sultra dan Universitas di Kendari.
“Belum bisa karena belum ada kajian hukum. Masih kita kumpulkan semua kajian-kajian dari para ahli agar pemerintah tepat mengeluarkan kebijakan.” Kata Ali Mazi
Adapun sembilan IUP yang dicabut permanen adalah PT Hasta Karya Megacipta, PT Pasir Berjaya Mining, PT Derawan Berjawa Mining (dua izin), PT Cipta Puri Sejahtera, PT Natanya Mitra Energi (dua izin), PT Investa Pratama Intikarya, dan PT Kharisma Kreasi Abadi.
Sedang enam izin tambang yang dibekukan adalah PT Alatoma Karya, PT Bumi Konawe Mining, PT Gema Kreasi Perdana (dua izin), PT Kimco Citra Mandiri, dan PT Konawe Bakti Pratama.
“Kalau gugatan biasa saja. Karena ini kebijakan hukum. Yang kita lakukan sesuai permintaan masyarakat mencabut 15 IUP, yah kita cabut” Tandas Ali Mazi
Tak Jadi Jaminan
Menanggapi Keputusan Gubernur Ali Mazi itu, masyarakat Wawonii merasa belum puas jika hanya separuh IUP di Pulau Wawonii yang dicabut secara permanen. Mereka takut kalau perusahaan masuk, bisa mengancam kebun, lahan dan lingkungan mereka.
Kalau hanya pembekuan izin tak jadi jaminan tambang berhenti beroperasi. Belum lagi masalah sosial muncul di masyarakat terkait pro dan kontra pertambangan.
BACA JUGA : MANFAAT TANAMAN JAGUNG, BEGINI CARA MENGOLAHNYA
Di tambah PT Harita Grup, pemegang IUP milik PT Gema Kreasi Perdana, terus masuk di Wawonii.
Mando mengatakan masyarakat hingga kini terus berjaga-jaga. Terutama, masyarakat Wawonii Tenggara, terus memantau gerakan perusahaan.
Dari 15 IUP, PT Harita Grup inilah yang terus memaksa melakukan aktivitas pertambangan. Sebab beberapa warga ikut bekerja di perusahaan setelah kebun mereka dibeli.
Sementara beberapa warga bertahan untuk tak menjual lahan terutama para petani kebun.
“Kami menagih janji pemerintah mencabut seluruh IUP. Jangan ada janji-janji lagi kepada masyarakat. Apalagi, di sana aktivitas masih ada,” kata Mando.
Mando menghubungi Imran seorang petani kebun mete di Wawonii Tenggara. Imran menilai langkah gubernur mencabut sebagian IUP di Wawonii belum memberikan perubahan lebih baik karena sebagian perusahaan masih mengancam.
Ia khawatir jika perusahaan dan masyarakat terjadi benturan di tengah gejolak penolakan tambang ini.