Mudabicara.com_ Puisi Amir Hamzah merupakan salah satu puisi yang populer di masa perjuangan Indonesia meraih kemerdekaan. Hal tersebut tak lain karena Amir Hamzah termasuk salah satu satrawan angkatan Poedjangga Baroe.
Sebuah angkatan sastrawan yang muncul pada tahun 1933 di bawah pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Selain seorang sastrawan, tokoh yang bernama asli Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera juga masuk sebagai sosok pahlawan Nasional Indonesia.
Oleh karena itu, puisi Amir Hamzah merupakan puisi yang wajib anak muda baca sebagai bahan kontemplasi dalam menjalani hidup sehari-hari. Berikut ulasan puisi Amir Hamzah selengkapnya.
Tengku Amir Hamzah merupakan sosok sastrawan yang lahir dari keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat di Sumatera Utara. Ia lahir pada 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Sumatera Timur.
Latar belakang pendidikan Amir Hamzah bermula HIS Tanjungpura dan melanjutkan sekolah Christelijk MULO di Medan namun pada kelas 2 dan akan naik ke kelas 3, Hamzah pindah ke Jakarta (dulu Batavia).
Namun kepindahannya pun tak menyurutkan semangat belajarnya dan Amir Hamzah meluluskan sekolah MULO pada 1927 di Jakarta. Pasca lulus dari MULO Amir Hamzah mendaftar di AMS Solo dengan jurusan Sastra Timur.
Pada saat menjalani pendidikan di Solo, orang tua Amir Hamzah meninggal dunia namun pendidikannya tetap berlanjut atas bantuan pamannya bernama Sultan Mahmud yang saat itu menjadi Sultan Langkat.
Kini Tengku Amir Hamzah yang terkenal dengan nama pena Amir Hamzah terkenal dengan julukan Raja Penyair Pujangga Baru. Tercacat Amir Hamzah telah menulis sebanyak 50 puisi, 18 potongan puisi prosa, 12 artikel, empat cerita pendek, tiga koleksi puisi, dan satu buku karya asli.
Berkat karya dan gerakan revolusi sosial di Sumatera Timur, Tengku Amir Hamzah dinobbatkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
Kembali pula engkau datang kepadaku di waktu sekarang tengah menjadi permainan gelombang gelombang terberai di bunga karang.
Lah lama kau kulupakan lah lampau bagi kenangan lah lenyap dari pandangan
Tetapi sekarang apatah mula apakah sebab, aduhai bonda ia datang menyusupi beta?
Kau ganggu hati yang reda kau kacau air yang tenang kau jagakan dewi asmara kau biarkan air mata berlinang…
O, asmara kau permainkan aku laguan kasih engkau bisikkan gendang kenangan engkau palu dari kelupaan aku, engkau sentakkan.
Pujaan mana kau kehendaki persembahan mana kau ingini aduhai angkara Asmara dewi.
Gelak sudah beta sembahkan cinta sudah tuan putuskan apatah lagi dewi harapkan pada beta duka sampaian…
kamadewi! gendewamu bermalaikan seroja puadai padma seraga tetapi aku sepanjang masa duduk di atas hamparan duka!
Kamadewi! tiadakah tuan bertanyakan nyawa?
Sekian penjelasan mengenai puisi Amir Hamzah, terima kasih telah mengunjungi portal website mudabicara. Jika artikel ini bermanfaat, silahkan share artikel ini ya!. Selamat membaca!
Mudabicara.com_ Teori parepatetik sering dikenal dengan filsafat paripatetik merupakan aliran filsafat yang memiliki satu bentuk pandangan tentang cara mendapatkan pengetahuan manusia melalui penalaran akal dan rasio.
Aliran filsafat parepatetik memiliki berbagai tokoh besar antara lain Ibnu Sina, Al-Faraby, Al-Kindi, dan Ibnu Rusyd. Meskipun demikian aliran silogisme yang bertumpu pada akal dan rasio ini memiliki berbagai kritik oleh para pemikir filsafat.
Salah satu kritik lahir dari seorang pemikir islam ternama dari Iran yakni Suhrawardi. Lalu bagaimana kritik Suhrawardi terhadap teori parepatetik. Selengkapnya simak ulasan mudabicara berikut ini:
Suhrawardi bernama lengkap Syihab Al-Din Yahya Bin Habbas Bin Amirak Suhrawardi, lahir sebuah desa dekat kota Zinjan bernama Suhrawar daerah Iran Selatan pada tahun 549 H atau 1155 M.
Latar belakang pendidikan Suhrawardi berawal dari seorang guru bernama Majd Al Din Al Jili yang mengajarkan tentang teologi dan filsafat.
Setelah belajar teologi dan filsafat, Suhrawardi berguru kepada Fahruddin Al Mardini. Melalui Fahruddin Al Mardin, Suhrawardi mengenal berbagai bidang ilmu yang membawanya sampai ke meja pengadilan.
Suhrawardi mashyur dengan julukan Al Maqtul yang berarti terbunuh atau al Syahid. Hal tersebut dikarenakan Suhrawardi menghembuskan nafas terakhir karena terbunuh oleh seorang utusan Al Malik Az-zahir, seorang Raja Aleppo.
Alasan Raja Al Malik Az-Zahir melakukan pembunuhan terhadap Suhrawardi karena menganggap ajaran tasawuf yang diajarkannya telah melenceng dari tuntunan agama. Oleh karena itu, tokoh yang juga di nisbatkan sebagai Syech al Isyraq dibunuh pada tahun 587 H atau 1197 M.
Sejarah Awal Teori Peripatetik
Secara epistimologi kritik Suhrawardi terhadap filsafat peripatetik merupakan solusi dari metode berpikir yang mana meletakan logika sebagai satu-satunya instrumen kebenanaran.
Latar belakang dari filsafat peripatetik tak lain adalah seorang filosuf awal Yunani yakni Aristoteles melalui karya yang berjudul Organon.
Dalam konteks metode berpikir Aristoteles merupakan orang pertama yang menyusun tentang cara berpikir secara teratur dan sistematis.
Ia membawa ajaran logika atau silogisme yang mana menarik kesimpulan dari realitas yang bersifat umum menjadi realitas yang bersifat khusus. Pada waktu itu logika menjadi alat untama mencari kebenaran yang paling unggul.
Sedangkan dalam konteks keilmuwan Filsafat Islam tokoh pertama yang mengenalkan teori filsafat peripatetik adalah Al Kindi. Ia menerjemahkan karya organon Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Di bawah Al kindi tentu teori peripatetik belum terkenal dan berkembang.
Ilmu logika baru menemukan tempat dalam pendidikan filsafat Islam ketika di tangan tokoh Al farabidan Ibnu Sina. Melalui kedua tokoh tersebut ilmu logika mengalami perkembangan signifikan dan menjadi discourse utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Bukti bahwa ilmu logika menjadi titik tumpu pengembangan ilmu pengetahuan dibuktikan dengan lahirnya beberapa tokoh besar seperti Al-Ghazali, Fakhr ad-Din Ar-Razy dan lain sebagainya.
Namun yang perlu menjadi catatan tidak semua tokoh di atas langsung setuju namun banyak juga yang melakukan kritik terhadap cara pandang filsafat peripatetik.
Kritik Suhrawardi Terhadap Teori Parepatetik
Kritik pertama muncul dari tokoh Al Ghazali melalui karyanya berjudul Tahafut Al-falasifah. Kritik kedua datang dari Suhrawardi yang menjelaskan sekaligus mengkritik kekurangan logika Aristoteles.
Suhrawardi memiliki pandangan bahwa teori parepatetik tidak bisa mencapai dan menjelaskan seluruh pengetahuan dalam realitas wujud. Baginnya pengetahuan tentang sesuatu tidak dapat diperoleh hanya dengan cara mendefinisika arti essensialis.
Atas dasar kekurangan tersebut, Suhrawardi menawarkan metode intuisi dengan ‘kesadaran diri’ sebagai elemen penting dalam pencapaian kebenaran sejati.
Kajian mengenai pemikiran epistemologi Suhrawardiakan terlihat penting apabila disandingkan dengan dominasi mazhab rasionalisme dan empirisme pemikiran barat. Oleh karena itu, Suhrawardi mencoba menawarkan alternatif epistemologi untuk menjawab keilmuan modern.
Sebagai mana di atas, tokoh pertama yang mengkritik teori parepatetik adalah Al-Ghazali meskipun faktanya di masa Al-Ghazali ilmu logika malah menjadi intrumen utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Hal tyersebut disampaikan oleh Ibnu Taimiyah bahwa di masa Al-Ghazali logika malah mempunyai kedudukan yang penting dan berpengaruh dalam mengembangkan teori-teori para pemikir dan teolog.
Artinya kritik Al-Ghazali tidak berarti cara berpikir teori Parepatetik hilang sebab faktanya ilmu logika malah menjadi intrumen pengembangan ilmu pengetahuan bahkan ushul fiqih.
Beberapa dekade setelahnya Fakhr ad-Din ar-Razi (1149-1209 M.) seorang tokoh filsafat islam membawa teori parepatetik menemukan performa terbaiknya dalam diskursus teologi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kritik Al-Ghazali dalam buku tahafut al-falasifah tidak tertuju pada logika sebagai teori ilmu pengetahuan sehingga kritik Suhrawardiseakan menjadi oase kejenuhan para filosof muslim terhadap teori parepatetik.
Meskipun Suhrawardibukan orang pertama sebab banyak tokoh filsafat islam lain yang juga mengkritik teori parepatetik seperti Imam asy-Syafi’i, as-Sirafi, dan Fakhr ad-Din Ar-Razi.
Untuk dua dari yang pertama lebih tepatnya disebut sebagai tokoh yang menolak (refutations) logika, adapun yang terakhir sebagai pengkritik logika untuk dikembangkan lebih lanjut.
Dan meski ada penolakan dari para tokoh filsafat islam sedemekian rupa, nampaknya dominasi logika masih sangat terasa pada zamannya Suhrawardi.
Menurut pemikiran sebelumnya, khususnya kaum peripatetik, pengetahuan diperoleh lewat definisi, konsepsi-konsepsi (tashawur) dan logika.
Ini terjadi, karena objek yang diketahui bersifat independen dan keberadaannya berada di luar eksistensi subjek. Di antara keduanya tidak ada keterkaitan logis, ontologis atau bahkan epistemologis.
Karena itu pengetahuan ini menuntut adanya konfirmasi (tashdiq) untuk menentukan kriteria salah dan benar. Dikatakan benar jika ada kesesuaian antara konsepsi dalam pikiran subjek dengan kondisi objektif eksternal objek; dianggap salah jika tidak ada keseuaian di antara keduanya.
Suhrawardimengkritik proses pengetahuan seperti itu yang menjadikan objek bersifat independen, yang eksistensinya terletak di luar eksistensi subjek.
Suhrawardi menyatakan bahwa teori tersebut tidak mampu memberikan pengetahuan sejati. Suhrawardi menganggap teori peripatetis gagal membangun teori pengetahuan yang mapan, yang dapat mendatangkan pengetahuan yang sebenarnya.
Kelemahan-kelemahan yang menonjol dalam logika terdapat pada definisi. Dan definisi inilah yang menjadi dasar dari proposisi-proposisi dalam logika.
Bagi Suhrawardi, untuk mendefinisikan sesuatu tidak cukup hanya dengan menyebutkan essensi alaminya saja. Sebab ada ciri khusus yang dimiliki oleh sesuatu itu, di dalamnya juga terdapat sifat-sifat lain yang menyertainya dan menjadi pertimbangan dalam proses definisi.
Oleh karena itu, sebuah definisi tidak cukup hanya dengan menyebutkan essensi paling khusus dari sesuatu tetapi juga harus menyertakan sifat-sifat lainnya.
Pasalnya, jika untuk mendefinisikan sesuatu harus mengetahui atribut khusus dari sesuatu itu, yang tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain, akan mengakibatkan seseorang tidak sampai pada pengetahuan yang baru apabila orang tersebut belum pernah mengetahuinya.
Dari keharusan menyebutkan sifat-sifat yang lain yang berdampingan dengan sifat khusus yang dimiliki oleh sesuatu yang didefinisikan, maka dapat disimpulkan bahwa pengetahuan melalui definisi tidak sempurna, sebab semua sifat-sifat bawaan yang terdapat pada segala sesuatu tidak akan pernah mampu ditampung dalam sebuah definisi.
Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa Suhrawardimenolak sama sekali keabsahan definisi untuk memperoleh pengetahuan.
Dia hanya menegaskan bahwa definisi tidak akan mampu mengantarkan seseorang pada pengetahuan yang sebenarnya, namun pada batas tertentu dia masih mengakui metode definisi sebagai salah satu sarana untuk mencapai pengetahuan.
Bagi Suhrawadi, agar dapat diketahui, sesuatu harus terlihat seperti apa adanya (kama huwa) sehingga pengetahuan yang diperoleh memungkinkannya tidak butuh definisi (istighna ‘an al-ta’rif).
Misalnya warna hitam. Warna hitam hanya bisa diketahui jika terlihat seperti apa adanya, dan sama sekali tidak bisa didefinisikan oleh dan untuk orang yang tidak pernah melihat sebagaimana adanya.
Sekian penjelasan mengenai Kritik Suhrawarditerhadap teori parepatetik, terima kasih telah mengunjungi portal website mudabicara. Jika merasa artikel ini bermanfaat, silahkan share artikel ini. Terima Kasih
Mudabicara.com_ Bacaan sholawat Ta’dzimul Qiyam merupakan bacaan sholawat nabi yang mudah dilafalkan serta dihafalkan sebab bacaan sholawat Ta’dzimul Qiyam memiliki lafal yang pendek.Selain itu sholawat Ta’dzimul Qiyam sering dilantunkan dalam berbagai kegiatan majlis dzikir dan aktivitas sosial keagamaan kaum Nahdhiyin.Oleh karena itu, sholawat Ta’dzimul Qiyam dapat menjadi salah satu amalan sholawat yang mudah dilakukan oleh para kaum muslimin dan muslimat.Dalam surat Al-Ahzab ayat 56 Allah SWT berfirman tentang perintah membaca sholawat kepada nabi Muhammad SAW.اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًاArtinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman. Bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56).Lalu bagaimana lafal bacaan sholawat Ta’dzimul Qiyam, berikut ulasannya:
Sebagai seorang manusia kita tentu tak luput dari namanya dosa sehingga seorang hamba memerlukan sarana bagaimana dosa-dosa tersebut dapat dihilangkan.
Nah, salah satu amalan penghapus dosa adalah melantukan sholawat. Sholawat kepada nabi Muhammad SAW selain bernilai ibadah juga dapat menjadi sarana untuk menghapus dosa yang pernah kita perbuat dan buku cacatan amal.
Maka, untuk mendapatkan kebahagian di hari kemudian kelak maka seorang muslim harus memiliki kemampuan untuk menjalankan apa yang diperintah Allah Swt dan menjauhi segala apa yang dilarangnya.
Sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra:
“Barang siapa membaca shalawat untukku satu kali, maka Allah akan mencurahkan rahmatNya sebanyak sepuluh kali.” (HR. Muslim).
Dalam Riwayat lain ditambahkan, “…dihapus darinya sepuluh kesalahan.” (HR Ibnu Hibban) “…dan akan diangkat derajatnya sepuluh kali.” (HR. an-Nasa’i).
2. Mendapatkan Lindungan Keselamatan
Bersholawat kepada nabi Muhammad SAW akan memberikan seorang muslim rasa aman dan keselamatan dari mara bahaya baik secara dhohir maupun batin.
Sebagaimana harapan kita sebagai manusia dan hamba mendapatkan keselamatan dan kesehatan dari sang maha pemberi hidup yakni Allah SWT.
3. Dapat Kepercayaan dan Rasa Cinta dari Orang Sekitar
Sebagai makhluk sosial tentu kita semestinya menjaga tingkah laku agar selalu berbuat baik kepada sesama manusia agar orang lain dapat menghargai dan menghormati kita.
Selain berakhlak mulia, bersholawat kepada nabi juga dapat meningkatkan kepercayaan dan rasa cinta orang lain kepada kita.
Dari berbagai riwayat para ulama, apabila kita ingin mendapatkan rezeki yang lancar dan datang dari pintu tak terduga salah satu amalan yang wajib diamalkan adalah dengan melakukan sholawat.
Sebagai contoh apabila seseorang ingin memiliki rumah sendiri tanpa menumpang dengan orang tua, maka amalkanlah sholawat sebagai wirid tetap.
Bacalah sholawat sebanyak 100 kali sehari selama 40 hari berturut-turut fa insyaallah urusan dunia akan dipermudah oleh Allah SWT.
Selain itu dengan membaca sholawat berbagai hal yang kita impikan sebelumnya akan segera terkabul karena pintu rezeki menjadi terbuka dengan lebar.
Namun, jangan lupa bahwa Anda harus tetap mengiringi kegiatan ini sambil bekerja keras dan bersedekah kepada pihak yang membutuhkan.
5. Meningkatkan Rasa Syukur Kepada Allah
Salah satu keutamaan membaca sholawat adalah meningkatkan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah kita dapatkan.
Di sisi lain, sholawat merupakan amalan yang mudah untuk dilafalkan dimanapun kita berada dan dalam keadaan apapun sehingga tak ada alasan kiranya kita untuk mengamalkannya.
Semoga kita termasuk hamba-hamba yang bersyukur atas segala nikmat yang Allah SWT berikan sehingga diberi nikmat-nikmat lain yang berlimpah.
Sekian penjelasan mengenai bacaan sholawat Ta’dzimul Qiyam, terima kasih telah mengunjungi portal website mudabicara. Jika merasa artikel ini bermanfaat, silahkan share artikel ini. Terima Kasih
Mudabicara.com_ Teori kesadaran diri Suhrawardi merupakan salah satu teori yang menjelaskan bagaimana manusia mendapatkan ilmu pengetahuan tentang dunia eksternal.
Sebagai sebuah tokoh filsafat dan pemikir abad 12, Suhrawardi ternyata jauh melampaui pemikir-pemikir barat seperti Auguste Comte dengan teori tiga tahappengetahuan manusia.
Bahkan melalui teori kesadaran diri Suhrawardi memberikan pengetahuan tentang bagaimana seorang manusia mendapatkan ilmu pengtahuan baik secara empiris maupun secara rasional.
Lalu bagaimana sebenarnya teori kesadaran diri Suhrawardi, baca artikel mudabicaraberikut ini :
Sekilas Tentang Sosok Suhrawardi
Suhrawardi merupakan seorang Filusuf dengan nama lengkap Syihab Al-Din Yahya Bin Habbas Bin Amirak Suhrawardi. Ia lahir di Suhrawar sebuah desa dekat kota Zinjan di Iran Selatan pada tahun 549 H atau 1155 M.
Sebagai seorang filsafat Islam Suhrawardi terkenal sebagai Guru Iluminasi (Syaikh Al-Isyraq), suatu sebutan bagi posisinya yang lazim sebagai pendiri mazhab baru filsafat yang berbeda dengan mazhab Peripatetik (madzhab, atau maktab al-masysya’un).
Kisah hidupnya tak semanis jasa besar keilmuwannya, Suhrawardi menghembuskan nafas terakhir dengan tragis melalui eksekusi di Aleppo pada 587 H/1191 M.
Hal tersebut mengakibatkan Suhrawardi disebut sebagai Guru yang Terbunuh (Al-Syaikh Al-Maqtul). Di sisi lain, Syed Hossein Nasr berpendapat Suhrawardi merupakan tokoh filsafat islam yang memiliki kontribusi luas dalam keilmuwan perkembangan keilmuan.
Mengenal Teori Kesadaran Diri Suhrawardi Serta Pengetahuan Hushuli dan Hudluri
Dalam kajian tentang metode memperoleh pengetahuan, Suhrawardi membagi metode mendapat pengetahuan ke dalam dua bagian, yakni pengetahuan hushuli dan hudluri.
1. Pengetahuan Hushuli
Pengetahuan adalah pengetahuan hushuli adalah metode mendapat pengetahuan melalui karsa manusia, baik dengan olah bahasa (definisi), olah pikir (logika), maupun hasil pencerapan dari inderawi.
2. Pengetahuan Hudluri
Pengetahuan hudluri adalah pengetahuan dengan kehadiran objek dalam diri setiap individu. Ilmu hudhuri dapat didefinisikan juga sebagai jenis pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri.
Oleh karena itu seluruh anatomi gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa implikasi apapun terhadap acuan objektif eksternal yang membutuhkan hubungan eksterior. Artinya, hubungan tersebut tanpa campur tangan koneksi dengan objek eksternal.
Pembagian seperti itu, mirip dengan pembagian yang dilakukan oleh al-Ghazali. al-Ghazali juga membagi pengetahuan menjadi dua, yakni pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli).
Al-Ghazali menyebut pengetahuan hudhuri dengan beberapa sebutan. Di antaranya adalah ‘ilmu laduni (pengetahuan dari yang tinggi) dan ‘ilmu mukasyafah (pengetahuan tentang penyingkapan misteri-misteri ilahi). Bagi al-Ghazali, pengetahuan hudhuri lebih unggul daripada pengetahun hushuli karena terbebas dari kesalahan dan keraguan.
Demikian juga Suhrawardi, baginya ilmu hudhuri adalah ilmu yang tidak memerlukan pembenaran (tashdiq), karena ilmu itu sudah benar dengan sendirinya.
Namun, sejauh pembacaan penulis, secara epistemologi, pembahasan Suhrawardi dalam hal kaitannya antara subjek yang tahu dengan objek yang hadir lebih teoritis dari apa yang dikemukakan oleh al-Ghazali.
Bagi Suhrawardi, ilmu hushuli, berasumsi bahwa objek pengetahuan berada di luar diri subjek yang mengetahui. Antara subjek dan objek tidak ada kaitan logis, ontologis, atau bahkan epistemologis.
Karenanya, segala jenis definisi dan konsepsi-konsepsi (tashawur) membutuhkan konfirmasi (tashdiq) untuk diketahui apakah benar atau salah.
Model seperti inilah yang banyak digunakan oleh kaum peripatetik dan ditolak oleh Suhrawardi jika dianggap sebagai model yang dapat memberikan pengetahuan yang sejati.
Berbeda dengan ilmu hudluri, menurutnya pengetahuan yang benar hanya bisa dicapai lewat hubungan langsung (al-idlafah al-isyraqiyah) dan tanpa halangan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui.
Hubungan di antara keduanya bersifat pro-aktif, dimana subjek dan objek satu sama lain hadir dan tampak pada essensinya sendiri dan di antara keduanya saling bertemu tanpa penghalang, sehingga pengetahuan yang dibangun di antara keduanya bebas dari dualisme logis, kebenaran dan kesalahan.
Hubungan langsung (al-idlafah al-isyraqiyah) subjek yang tahu dan objek yang diketahui ini berawal dari pandangan Suhrawardi terhadap realitas.
Dalam pandangannya, realitas itu adalah rangkaian kesatuan yang satu. Hal ini juga terkait dengan pandangannya terhadap essensi dan eksistensi.
Baginya yang terpenting adalah essensi, dan essensi ini pada hakikatnya adalah cahaya yang bersumber dari Nur al-Anwar. Realitas, secara keseluruhan adalah cahaya yang terpancar dari Nur al-Anwar.
Dan pancaran ini terjadi secara terus menerus tanpa durasi dan membentuk suatu pancaran holistik, yakni kesatuan pancaran antar cahaya (wahdah al-isyraq).
Karena itulah, filsafatnya dikenal dengan filsafat al-Isyraq. Pemahaman semacam ini bersifat menyeluruh, yang memandang semua yang ada sebagai suatu keutuhan, bukan sekedar suatu kumpulan unsur-unsur yang lepas-lepas
Adapun kaitannya dengan epistemologi Suhrawardi, kesatupaduan obyektif realitas dirasakan pula sebagai kesatupaduan subjektif.
Penjelasan Mengenai Teori Kedasaran Diri
Persoalan bagaimana hubungan antara subjek yang tahu dengan objek yang diketahui dapat dibangun, Suhrawardi menjawabnya dengan apa yang ia sebut sebagai ‘Teori kesadaran diri Suhrawardi’ (idrak al-ana’iyah).
Menurut Suhrawardi, teori kesadaran diri sama dengan kesadaran langsung mengenai sesuatu dalam dirinya sendiri (idrak ma huwa huwa).
Akan tetapi, kesadaran diri tidak boleh dimunculkan dengan ide tentang kesadaran diri. Artinya apa, kesadaran diri tersebut tidak dilahirkan oleh ide tentang kesadaran diri melainkan oleh kesadaran itu sendiri.
Hal ini menjadi sangat penting, sebab jika kesadaran diri tersebut lahir dari ide tentang kesadaran, maka akan lahir dua hal yang berbeda, subjek yang menyadari dan objek yang disadari, sehingga tidak diketahui essensi diri sendiri.
Jika apa yang dipaparkan di atas itu terjadi, Suhrawardi pernah berkata:
“Tidak terbayangkan bahwa sesuatu mengenali dirinya dengan objek eksternal di luar dirinya, karena hal itu hanyalah sifat baginya. Jika dinyatakan bahwa setiap sifat eksternal –baik berupa pengetahuan atau yang lainnya- ditujukann untuk dirinya, maka ia harus mengenali dirinya sebelum mengenali seluruh sifat aksidental dan sejenisnya. Jadi, ia tidak mungkin mengenali dirinya dengan sifat-sifat eksternal”.
Selanjutnya upaya kita untuk memudahkan pemahaman, sebagai ilustrasi, misalnya orang mengetahui bahwa dirinya merasa sakit berasal dari kesadaran dirinya bahwa ia merasa sakit.
Pada konteks kesadaran diri saat ia merasa sakiy, maka pengetahuan semacam ini tidak dapat diragukan lagi, ia mempunyai kepastian yang tinggi, karena ia berasal dari perasaan yang ia alami secara langsung.
Kesadaran semacam ini tidak akan diperoleh jika orang itu, menggunakan persepsi orang lain untuk menggambarkan bagaimana sesungguhnya rasa sakit yang ia rasakan.
Menurut Suhrawardi, ‘ teori kesadaran diri’ merupakan dimensi paling elementer dari setiap tindakan manusia untuk mengetahui objek-objek eksternal di luar manusia.
Mengetahui objek eksternal berarti menyatakan adanya suatu unifikasi eksistensial antara subjek (pikiran) dan objek (realitas benda-benda atau wujud segala sesuatu), sehingga kehadiran objek tersebut bisa dikenali secara meyakinkan.
Karena subjek hadir untuk dirinya dan mengalami pengetahuan atas dirinya, ‘keakuan’ (I-ness), maka terdapat wilayah ‘kediaan’ (it-ness) di luar subjek, yang berada di luar realitas faktual dan status ontologis subjek.
Dari analisa atau dari contoh kasus di atas dapat dipahami bahwa siapa saja yang menyadari essensinya sendiri berarti memberi kesadaran pada semua wujud.
Karena itu, dalam istilah kesadaran diri, setiap ‘aku’ secara essensial adalah sama dengan ‘aku’ yang lain, karena masing-masing adalah kesadaran diri.
Yang mungkin membedakan adalah tingkat kesadaran masing-masing. Artinya apa, berangkat dari kesadaran inilah yang dalam filsafat isyraqi disebut isfahbad al-nasut yang mengantarkan manusia untuk mengenali dirinya dan bertemu dengan essensi semesta yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Model pengetahuan yang ditawarkan oleh Suhrawardi tentang teori kesadaran diri, dimana pengetahuan tidak dijalani dengan bantuan representasi atau gambaran (surah) objek yang terpantul pada penginderaan subjek.
Melainkan pengetahuan diperoleh melalui oleh kesadaran dan perasaan yang dialami secara langsung, maka ia bebas dari tuntutan konfirmasi kebenaran dan kesalahan (tashdiq), karena pengetahuan ini ‘hadir’ begitu saja dan mewujud dalam ‘kesadaran’ subjek sehingga objek terlihat seperti apa adanya (kama huwa).
Ada satu lagi yang penting, dan menjadi ciri khas Suhrawardi, bahwa hubungan antara subjek yang tahu dengan objek yang hadir berada dibawah pancaran cahaya Nur al-Anwar.
Sekian penjelasan mengenai teori kesadaran diri, terima kasih telah mengunjungi portal website mudabicara. Jika artikel ini bermanfaat, silahkan share artikel ini ya!. Selamat membaca!
Mudabicara.com_ Puisi Rivai Apin memiliki kualitas yang tak kalah dari teman sejawatnya yaitu Chairil Anwar dan Asrul Sani. Sebagai pelopor sastrawan Angkatan 45 puisi Rivai Apin tak lepas dari narasi perjuangan kemerdekaan.
Tak hanya terkenal sebagai penyair dan sastrawan hebat namun sepak terjang Rivai Apin juga terpatri di berbagai sektor gerakan sosial masyarakat baik dalam kebudayaan maupun politik.
Tiga serangkai penyair yang memberi warna dalam perkembangan puisi Indonesia pun telah pergi namun karya-karyanya hidup dan mwarnai kesusastraan Indonesia hingga kini. Lalu apa saja karya puisi Rivai Apin, berikut ulasannya.
Rivai Apin lahir di kota Padangpanjang pada 30 Agustus 1927. Ayahnya bernama Moh. Apin dan ibunya bernama Siti Khamelah. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.
Nama besar Rivai Apin hampir terkubur dalam kesusastraan Indonesia, namanya tak setenar Chairil Anwar meskipun karya-karyanya memiliki diksi dan pemaknaan yang tak kalah tinggi dari karya Chairil Anwar.
Berkat jasa seorang penulis sekaligus penerjemah Harry Aveling puisi Rivai Apin terkumpul dalam sebuah buku berjudul Dari Dua Dunia yang Belum Sudah (1972).
Selian itu karya-karya juga termuat dalam buku berjudul Gema Tanah Air (1948, ed. H.B. Jassin) dan Tiga Menguak Takdir (1950).
Melalui karya-karya tersebutlah nama Rivai Apin mulai muncul kepermukaan sebagai penyair ternama yang telah berkontribusi dalam kemajuan kesusastraan Indonesia.
Karir Rivai Apin pun tak hanya di dunia sastra, sejarah mencatat tokoh yang belajar ilmu hukum di Jakarta ini pernah menjadi redaktur berbagai majalah kebudayaan, antara lain Gema Suasana, Siasat, Zenith, dan Zaman.
Di samping itu, ia juga aktif sebagai tokoh kebudayaan dan politik sehingga pernah menduduki posisi penting seperti anggota KNIP, DPRD DKI Jakarta, dan Pimpinan Pusat Lekra (1959—1965).
Sebagai penyair Indonesia berpengaruh bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani sajak-sajak Rivai Apin pun penuh dengan bahasa keresahan, kemurungan, kesepian dan perjuangan.
Atas dasar puisi Rivai Apin tersebut HB Jassin berpendapat bahwa Rivai Apin merupakan satu dari tiga tokoh dari pelopor sastra angkatan 45.
Bahkan dalam buku Rumah Sastra Indonesia, (2002:71—73) Harry Aveling membagi tiga fase perkembangan Rivai Apin dalam berkarya.
1. Fase Imaji Laut
Imaji laut mengambarkan keberanian dan kegagahan seorang lelaki. Bagi Rivai Apin laut merupakan sebuah tempat yang penuh dengan teka-teki. Sementara itu, pantai merupakan daerah perantara daratan dengan laut.
2. Fase Imaji Laut Yang Lebih Sempit
Fase kedua ditandai oleh imaji yang lebih sempit, tetapi masih memakai imaji laut. Laut dan pantai melambangkan tenaga hidup, dan batu-batuan melambangkan kekalahan.
3. Imaji Padang Tandus
Fase ketiga ditandai oleh imaji padang tandus
Ditengah prahara politik, Rivai Apin terindikasi sebagai orang yang berpihak pada komunisme sehingga pasca peristiwa G30-S/PKI Rivai Apin menjadi tapol di Pulau Buru selama 14 tahun.
Dalam kurun waktu menjadi Tapol inilah banyak puisi Rivai Apin yang hilang atau bahkan sengaja dihilangkan, ia bebas pada akhir tahun 1979.
Di masa-masa tuanya Rivai Apin membuat skenario film berjudul Peristiwa di Gang B (1995) yang tak kunjung difilmkan hingga wafatnya. Satrawan besar yang bujang hingga akhir hayat ini menghembuskan nafas terakhir pada April 1995 di Jakarta
10 Puisi Rivai Apin Yang Wajib Anak Muda Baca
1. Puisi Rivai Apin berjudul “Kebebasan”
Kebebasan
Di atas hancuran tembok yang kuruntuhkan
Berdiri aku atas kuda putihku, gaya dan jaya
Di hadapanku menghampar padang dan bukit
Dengan lengkungan langit yang membuatku lapar ruangan.
Lalu dadaku memberikan ruang
Bagi jantung yang memukul berdentangan
Memancarkan darah yang dia degap degupkan
Darah kudaku pun ikut menjalang dan dia
berlonjak-lonjakan oleh kekesalan
Lalu kulepas dan kami menderu pacu ke pantai-pantai.
Aku menyerah dengan seluruh kekayaanku:
Kekinian dan keakanan. Pada kursi panjang
Di kamar terang samar pada senja
Dengan rokok berkepulan di tangan.
Hari-hari aku jadikan pura dari kelaluan
Dan sekali-kali aku akan tertawa dan tersenyum sendirian.
Tiap hari-hari mati membenamkan aku
Ke dalam benda-benda yang berlapukan dan berdebuan
Tapi, sehabis kuap yang penghabisan, aku takut
Kepala akan berteleng dan mulut yang meliang
dengan bibir yang berat bergantungan
Akan keluar penyesalan: Hari-hari baru hanya cemooh keterlaluan.
3. Puisi Rivai Apin berjudul “Melalui Siang Menembus Malam”
Melalui Siang Menembus Malam I
Sebelum gadis-gadis jadi remaja,
Sebelum daun-daun akan menghijau dan bunga berwarna segar,
Di sempit pinggiran, di mana batas hanya bisa dirasakan
– dan dia tidak akan meleset, tapi harus jujur dalam pengakuan –
Air mata akan menakik pipi
pikiran akan membakar hati,
menjadikan diri orang kering kurus sehabis nyala.
Musim kemarau telah bangkitkan
dan hembuskan dan sebarkan
napas kering maut,
Kebenaran kegembiraan dalam ledakan pertama
Dari balik tembok-tembok sepanjang gang-gang
maut mengintai tak kunjung putus
Manusia hanyalah anak dari beberapa jam.
Anak Manusia yang sekarang ini hanyalah tahu cita-cita yang patah,
burung-burung yang kehabisan nyanyi.
Dan hatinya, di padang kering, batu rengkah-rengkah digersangi harapan
Kini dia telah pahit mulut
dadanya berayutan, berat menarik ke dalam kubur.
II
Kebenaran kegembiraan dalam ledakan pertama
Kebenaran yang diakui hati
Tapi dipatahkan pikiran, karena
dia minta jaminan bagi kehidupan seperti manusia biasa.
Pahit pertama yang menyebar dalam mulut
dan menuba dada
Pengertian inilah:
dia telah mengaburkan batas
manusia biasa dan manusia luar biasa
Kedua-dua adalah anak-anak manusia
Yang ditentukan oleh beberapa jam
“pada pokok mula ialah perbuatan”
Kebenaran yang diakui hati tapi dipatahkan pikiran
manusia luar biasa minta jaminan bagi kehidupan;
Bagi orang yang lari sebagai binatang buruan: manusia biasa
Datang melecut pada luka-luka
dia yang telah lari ke dalam gua-gua terakhir
karena dia tidak mau jadi barang sewa.
III
Demi cinta dan jujur
mari kita berterus terang
Ini hidup yang menghampar di hadapan kita
demikian indah, demikian menarik, dan penuh goda
tapi jalannya telah menuju ke ketakutan
dan setan-setan di pinggiran jalan
bersorak-sorak menganjurkan.
Arus yang telah diikutkan
membuat lupa dan kemegahan
membuktikan ketakutan…
Adakah suatu kemegahan itu bumi
Adakah suatu kemegahan itu dasar
Kemegahan yang telah dihantui oleh ketakutan dan penyesalan,
tapi tak hendak diakui?
IV
Carilah penghabisan mimpi
Carilah penghabisan nyanyi
Tapi bagaimana? Kedua-dua tidak akan habis-habis
Kedua-dua akan putus-putus
Mereka kedua memang bisa,
memang bisa, tapi bagaimana…
V
Di mana akhir daerah akan terdapat
akhir daerah, yang membuka kaki langit
Tidak cukup kesepian, tidak cukup pembuangan
tidak cukup ketahanan dan kekuatan menjejak dasar
Tidak di atas tanah bumi, tidak di atas air laut
Dalam ketika-antara di dalam jarak bumi dan laut
Dan hirup udara dari dua rupa.
Bumi yang punya rupa dan nama
menguapkan awan sakal dan …
Di perhentian lanjut
Menyadari tempat dan ketika
Kemenangan dan kekalahan
Membuat pengakuan lalu pulang ke garis jalan,
Tujuan yang dimulai bersumber hati
VI
Di daerah tuju yang membuka kaki langit
di daerah yang setiap waktu dimandi hujan,
Biar di waktu siang atau di waktu malam.
Cari waktu yang tepat
Cari tempat yang wajar, dan ingat
Tidak ada waktu dan tempat bagi dia yang dilahirkan cahaya
dan hilang ditertawakan cahaya.
Dia yang dilahirkan di tengah malam terbongkar
dengan hutan rimba yang satu waktu patah-patah
dan lain waktu jadi padang kering
Dia akan hidup menuju pantai dan jadi penguasa
Karena dia percaya:
Inilah bumi, air, dan udara
Di atas mana, di dalam mana, dan di antara mana
Anak Manusia harus hidup.
Dia perhitungkan segala hidup
Dia buat perhitungan di tiap mati
Dia hanya menggenggam nilai
Laut kekalan yang tak kenal batas,
di atas mana kapal, hidup berlayar
Dia telah mandikan dirinya di dalam
biru, kejujuran laut dengan badai dan kaca
mata sumber segala yang hidup
kepundan yang memancarkan segala tenaga
Dan gadis dengan keindahan penuh sehabis badai,
Akan keluar dari laut yang biru bening.
Apa yang bisa kami rasakan, tapi tak usah kami ucapkan
Apa yang bisa kami pikirkan, tapi tak usah kami katakan
Janganlah kau bersedih – dan mari kami lanjutkan
Kami bawa ini kebenaran ke bintangnya dan ke buminya.
Kami pun tahu, karena ada satu kata dari kau yang kami simpan
Satu pandang dari tanah retak menggersang, lalu sedu menyesak dada
Ah, kenangan padamu akan terus memburu,
menakutkan seperti bayang di pondok seloyongan, bila pelita
telah dipasang
Tapi penuh kasih seperti Bapa yang mengulurkan tangan
Dan kau kembali, seperti di hari-hari dulu ketika kau dan ini
bumi masih mendegupkan hidup.
Kami tak kan lupakan kau, ketika memburu dan ketika lari
– karena apa yang kami buru dan apa yang kami lari
untuk itu kau mau serahkan nyawa
Dan kami yang menimbang jasamu
Pun tahu, seperti kau pun tahu, bahwa tak ada Dewa atau
Tuhan lain lagi yang berharga untuk dihidupi selain itu
Berhembusan topan di padang tandus ini
Tapi tapak kami yang tertanam di padang gersang, di mana kau
dalam terkubur
Melanjutkan nyala, dan kami yang tegak berdiri di sini ialah api
Kita tahankan hidup di ini malam, malam yang akan melahirkan siang
Kita adalah anak-anak dari satu Bapa
Kita adalah anak-anak dari satu Ibu
Dan mati kita hanyalah soal waktu
Tapi kita semua mempertahankan satu Tuhan.
Adik yang akan datang. Kakak yang telah pergi
Kita angkutlah tanah-tanah yang retak, ini tanah-tanah yang gersang.
Keberatan beban, kesakitan bahu memikul, dan kepahitan hati
akan kekalahan
Akan menyaratkan cinta pada kepercayaan yang kita peluk.
5. Puisi Rivai Apin Berjudul “Peristiwa”
Peristiwa
Malam membenamkan aku ke gang-gang
Dan dari aku, dia tidak akan dapat tantangan.
Aku tahu, kapal-kapal telah berangkat
Dan tidaklah akan kukejar ini kepergian.
Aku tadi juga di tangga dan di telingaku membising:
Orang bersuit-suitan dan menyoraki,
Tapi satu kilat memutuskan:
Aku kembali ke tengah mereka.
Benciku, yang melendir di mulut kuludahkan ke kapal yang tak kena
dan satu ombak kecil enak saja membawa ludahku lari
6. Puisi Rivai Apin berjudul “Tiga Menguak Takdir”
Tiga Menguak Takdir
Di atas hancuran tembok yang kuruntuhkan
Berdiri aku atas kuda putihku, gaya dan jaya
Di hadapanku menghampar padang dan bukit
Dengan lengkungan langit yang membuatku lapar ruangan.
Lalu dadaku memberikan ruang
Bagi jantung yang memukul berdentangan
Memancarkan darah yang dia degap degupkan
Darah kudaku pun ikut menjalang
dan
dia berlonjak-lonjakan oleh kekesalan
Lalu kulepas
dan kami menderu pacu ke pantai-pantai
7. Puisi berjudul “Tugu”
Tugu
Bila rumah dan mimpi telah hancur
Jangan kaukatakan:
Binatang-binatang pada mati, semuanya keindahan pada redup
Dan kau telah sendirian menghadapi kenyataan. Tapi ingat!
Ini waktu akan punya tugu, berukirkan kata mula dan kata akhir.
Jangan ada yang pulang dengan darah dan air mata
Tapi sirami bumi, semuanya ini akan bangunkan kegemilangan
Batu kekalahan di atas batu kekalahan
Sekali waktu nanti akan menugu
di mana kita yang mengukir kemenangan.
8. Puisi Rivai Apin berjudul “Batu Tapal”
Batu Tapal
Pengertian kita ditapali batu dari Jogja
Pengertian kita ditapali batu dari
Jogja
Biarpun apa yang terjadi
Pengertian kita ditapali batu dari
Jogja
Angin bangkit berembus
sarat mengandung bau
mayat-mayat dari daerah mimpi yang telah terjadi.
Ingatlah bila angin bangkü
Ingatlah bila angin bangkü
Bahwa daerah yang kita mimpikan
Telah bermayat, banyak bermayat.
Pengertian kita düapali batu dari
Jogja
Pengertian kita düapali batu dari
Jogja
Dan tidak ada yang dapat menggolakkannya.
Ingatlah bila angin bangkü
dan mengandung mayat
daerah yang belum didapat
Ingatlah anak yang tidak punya kebun tempat bermain
9. Puisi Rivai Apin berjudul “Dari Dua Dunia Belum Sudah”
Dari Dua Dunia Belum Sudah
Pagi ini aku dengar beritanya,
Aku ke jalan
Orang-orang jualan dan hendak pergi kerja menepi-nepi
Oto-oto kencang, berat dengan serdadu-serdadu dan tank-tank
tak dapat digolakkan
Ada yang meronda, berdua-dua dan bersenjata
Di antaranya ruang lapan-lapan, tapi ada isi!
Semua beku padu:
manusia benda udara, tapi memperlihatkan harga
Aku pergi ke teman-teman berbicara, isi mengendap ke kelam
Berita: Jogja sudah jatuh, Maguwo… Karno tertangkap
Hatta, Sjahrir …
….
Kami berbicara, menimbang dan melihat kemungkinan
Semua dari satu kata dan untuk satu kata.
Senja itu aku pulang, sarat dengan berita dan kemungkinan.
Di rumahku aku disambut oleh keakuanku yang belum sudah:
buku yang terbuka, yang belum dibaca dan buku yang harus
aku sudahkan,
Tapi untuk ini aku sudah tinggalkan Bapa dan Abang
Dan baru pula teringat ini hari baru satu kali makan.
– yang periuknya selalu terbuka – Dan aku sudahkan
keakuanku
di dalam ruang kuburan yang digalikan oleh nyala pelita di
dalam kegelapan.
Tapi malam ini menghentam, sepatu lares pada dinding
kegelapan yang tebal
Dan ketika mereka telah pergi terdengar ratap perempuan,
bininya atau ibunya.
Padaku tak usah lagi diceritakan, bahwa ada yang dibawa
Aku hanya bisa menekankan kepala pada papan meja,
Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi tapi telah mengejar
pula ke dalam dunia yang belum sudah.
10. Puisi Rivai Apin berjudul “Mak Oi”
Mak Oi
Mak oi, sekiranya dunia masih minta dijelaskan
cemerlang apa yang begitu dicinta.
Setidaknya, sayangku sayang, lupakan habis-habis,
kerna apa yang dipucuk hati, masihkah tidak membukti?
Pikirkanlah tipuan-tipuan cerdik
dan khayal cat cantik-cantik
tentang berkata benar apa sungguh kejujuran begitu pelit?
Sedemi cinta yang bisa berputik
dan belaian lidah bukan lagi kecupan palsu
Tenggelamkan kepalaku dalam-dalam di sumur dadamu
sehingga pada matahari aku tidak lagi malu.
Kau pun juga semoga,
lahir kita memang dari rahim yang begini
dan yang bukan putera nyata. Ia telah kita bunuh.
Sekian penjelasan mengenai puisi Rivai Apin, terima kasih telah mengunjungi portal website mudabicara. Jika artikel ini bermanfaat, silahkan share artikel ini ya!. Selamat membaca!
Mudabicara.com_ Pandangan Ibnu Rusyd tentang wahyu dan rasio tentu memiliki kesamaan pun perbedaan dengan para tokoh pemikir dan filusuf muslim lainnya.
Sebagai seorang ahli filsafat yang tumbuh dan berkembang di kota Andalus, Spanyol, Ibnu Rusyd memberikan kontribusi dalam perkembangan keilmuwan Islam secara signifikan.
Salah satu kontribusi besar Ibnu Rusyd adalah pembahasanya terkait dengan relasi agama dan filsafat mengunakan teori emanasi.
Selain itu Ibnu Rusyd membahas tentang hubungan wahyu dan rasio. Nah! mudabicara akan membahas artikel tentang pandangan Ibnu Rusyd tentang wahyu dan rasio. Selengkapnya sebagai berikut:
Dalam konteks wahyu dan rasio Ibn Rusyd, Ibnu Rusyd memiliki padangan bahwa rasio mempunyai peran besar dalam proses pemahaman terhadap wahyu dan realitas.
Rasio berguna sebagai medium untuk menganalisis prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran melalui metode tafsir atau takwil sehingga ilmu-ilmu agama akan nampak rasional bagi pemeluknya.
Oleh karena itu berbicara terkait hubungan wahyu dan rasio, beberapa filsuf seperti Ibn Rusdy dan Ibnu khaldun mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama didasarkan pada “otoritas”, bukan akal. Adapun yang dimaksud otoritas di sini adalah al-Qur’an danal-Hadits yang bertindak sebagai tafsir atasnya.
Jadi sumber-sumber ilmu agama adalah kitab suci yang diwahyukan secara langsung kepada Nabi dan RasulNya.
Adapun sumber dari ilmu-ilmu umum adalah alam semesta yang terhampar luar hingga atom-atom dan partikel-partikel yang sangat kecil.
Dari pembahasan ini yang menarik adalah pernyataan Tuhan sendiri yang memandang baik al-Qur’an maupun alam semesta sebagai “tanda-tanda (ayat) Tuhan”.
Dengan demikian jelas bahwa ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum sebenarnya sama-sama mengkaji “ayat-ayat Allah”, hanya saja yang pertama mengkaji ayat-ayat qauliyah, yang kedua ayat-ayat kauniyyah.
Karena sama-sama tanda (ayat) Allah, keduanya merujukatau menunjukkan realitas sejati yang sama, Allah, sebagai sumber kebenaran. Dialah realitas yang menjadi objek penelitian setiap ilmu, baik yang bersifat naqliyyah maupunaqliyyah.
Oleh karena itu sebagaitanda-tanda ilahi, alam semesta sebagai realitas wujud tidak bisa kita pandang sebagai realitas-realitas independen yang tidak punya kaitan apapun dengan realitas-realitas yang lebih tinggi.
Wahyu dan realitas wujud ini juga yang menjadi sumber pengetahuan menurut Ibnu Rusyd. Dua bentuk sumber ini masing-masing melahirkan disiplin ilmu yang berbeda.
Realitas wujud melahirkan ilmu dan filsafat sedang wahyu memunculkan ilmu-ilmu agama.
Meski demikian menurut Ibn Rusyd, dua macam sumber pengetahuan tersebut tidak bertentangan melainkan selaras dan berkaitan karena keduanya adalah benar dan mengajak kepada kebenaran.
Relasi Wahyu dan Rasio
Pembahasan tentang bagaimana pandangan Ibnu Rusyd tetang wahyu dan rasio disini, penulis terlebih dulu perlu mempertemukan konsep wahyu dan rasio itu sendiri.
Bagaimana Dengan Wahyu
Secara umum, Ibnu Rusyd memaknai wahyu lebih sebagai hikmah (kebijaksanaan) yang diartikan sebagai ” sebuah pengetahuan tertinggi tentang eksisitensi-eksistensi spritual”.
Melalui hikmah seorang nabi mampu mengetahui kebahagian hakiki berkaitan dengan kehidupan akhirat atau kehidupan sesuadah mati.
Berdasarkan hal tersebut, diturunkanlah syari’at kepada manusiademi mencapai kebahagiaan yang dimaksud. Materi ajaran syariat terdiri dari dua hal, yaitu: ajaran tentang ilmu benar (al-ilmu al-haq) dan ajaran tentang perbuatan yang benar (al-‘amal al-haq).
Ilmu yang benar adalah ilmu pengetahuan yang mengenalkan manusia dengan Tuhannya sebagai Dzat yang Maha Suci dan Maha Tinggi, mengenalkan kepada segala bentuk realitas wujud sebagaimana adanya terutama wujud-wujud mulia yang bersifat metafisik, dan mengenalkan pada pahala dan siksa di akhirat.
Adapun perbuatan yang benar adalah perbuatan yang akan membawa kepada kebahagiaan dan menjauhkan dari penderitaan.
Perbuatan-perbuatan yang benar itu sendiri terbagi dua:
1) perbuatan-perbuatan lahir yang bersifat fisik sebagaimana yang tercantum dalam aturan-aturan hukum fiqh.
2) perbuatan-perbuatan yang bersifat psikis dan spritual, seperti rasa syukur, sabar dan bentuk-bentuk moral etika lain yang diajarkan syariat yang kemudian dikenal dengan prilaku zuhud.
Bagaimana Dengan Rasio
Selanjutnya penalaran rasional, menurut Ibnu Rusyd tidak akan bertentangan dengan syari’at. Hal ini dapat terjadi karena penalaran rasional yang sesungguhnya bukanlah sesuatu yang di luar ajaran syari’at melainkan justru perintah syari’at.
Banyaknya ayat-ayat yang menyuruh kita melakukan nazdar secara rasional terhadap bentuk realitas untuk kemudian mengambil pelajarandarinya.
Jika demikian, jika syari’atdiyakini benar adanya dan kenyataannya ia memerintahkanpada penalaran rasional yang akan menggiringi kepada pengetahuan yang benar.
Maka penalaran rasional tidak mungkin bertentangan dengan syar’at, sebab kebenaran yang satu tidak mungkin bertentangan dengan syari’at dan kebenaran yang satu tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran lainnya, justeru saling mendukung.
Pada konteks padangan ibnu rusyd tentang wahyu dan rasio, Ibnu Rusyd menolak keras pendapat al-Ghazalidan orang-orang yang melarang belajar filsafat dan pemikiran rasional dengan alasan hasilnya akan bertentangan dengan syari’at atau karena adanya kasus-kasus yang memunculkan penyimpangan.
Menurut Ibnu Rusyd, penalaran rasional yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan mendalam tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang bertentangan. Adapun penyimpangan yang terjadi pada beberapa orang hanyalah bersifat kasuistik sehingga tidak dapat digeneralisir.
Dalam membela filsafat, Ibnu Rusyd berusaha menyatakan bahwa berfikir secara filosofis tidak lebih dari sekedar memikirkan alam semesta.
Secara tegas Allah memerintahkan hambanya untuk memikirkan alam semesta demi mencapai keimanan yang sempurna.
Apabila memikirkan alam semesta dengan segala isinya merupakan perintahAllah, sedangkan mekanisme yang paling utama dalam memikirkan itu semua adalah nalar demonstratif.
Maka nalar demonstratif tidak mungkin digunakan secara langsung oleh manusia dengan sempurna tetapi dia memerlukan pembelajaran yang serius terhadap pernak-pernik yang ada didalamnya.
Sejauh ini, untuk memahami pernak pernik dalam pengetahuan tersebut tentunya memerlukan ilmu logika. Meskipun ilmu logika sendiri hanyalah kumpulan metodologi yang berfungsi sebagai perantara dalam memahami sesuatu. Perantara dapat diambil dari mana saja dan dari siapa saja.
Karena itu mempelajari ilmu logika tidaklah bid’ah lantaran tidak dikenal di masa Islam pertama. Ushul Fikih merupakan salah satu ilmu yang juga tidak dikenal pada masa itu.
Apabila ilmu Ushul Fikih tidak dianggap bid’ah, maka ilmu logikajuga bukan bid’ah. Dengan demikian, hukum mempelajari logika yyang identik dengan filsafat dalam pandangan syari’ah Islam sendiri adalah wajib jika tujuannya sebagaimana yang dianjurkan syari’ah.
Keyakinan tidak adanya pertentangan antarahasil penalaran rasional filosofis dengan wahyu tersebut juga terjadi dalam kaitannya dengan sains atau ilmu-ilmu kealaman.
Menurut Ibn Rusyd, berkaitan dengan sains ini, syari’at mempunyai dua sikap, yaitu: menjelaskan atau tidak menyinggung sama sekali. Ketika syari’at tidak menyinggungnya berarti tidak ada masalah.
Keberadaannya sama seperti fenomena hukum yang belum dibicarakan oleh syari’at yang kemudian menjadi tugas ahli fiqh untuk menyimpulkannya melalui analogi (qiyas syar’i).
Artinya ilmu-ilmu kealaman yang belum dibicarakan syari’at berarti menjadi tanggung jawab kaum saintist untuk melakukan eksplorasi dan menguraikannya lewat metode-metode ilmiah.
Sebaliknya jika syari’at menjelaskan, kemungkinannya ada dua, yaitu: sesuai dengan hasil yang diberikan sains atau bertentangan dengannya.
Jika sesuai berarti tidak ada masalah, tetapi jika bertentangan maka hal itu dapat diseleraskan dengan cara dilakukan takwil atas makna zhahir yang dikandung syari’at.
Di sini Ibnu Rusyd menegaskan penggunaan takwil hanya untuk orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, dan tidak boleh boleh disampaikan kepada semua orang lebih-lebih masyarakat awam karena dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekafiran.
Tujuan Mempertemukan Wahyu dan Rasio
Pengetahuan yang diperoleh baik lewat ayat-ayat naqliyah maupun aqliyyah menurut Ibn Rusyd, bertujuan untuk mengenal Tuhan (al-Haqq) Sang Kebenaran.
Dalam tradisi filsafat humaniora klasik, argumen-argumen mengenai keberadaan Allah biasanya berpangkal pada tiga hingga lima kategori, yaitu: argumen kosmoslogis, argumen ontologis, argumen teologis , argumen moral dan argumen pengalaman spritual.
Argumen kosmologis yang pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles dan belakangan diadopsi oleh filsuf ternama diantaranyaal-Kindi, Ibn Rusyd dan Thomas Aquinus.
Rumusan-rumusan ini pada dasarnya menegaskan bahwa kebenaran dunia dapat ditelusuri dari satu sebab ke sebab lain dan begitu seterusnya, tetapi penelurusan balik ini tidak dapat dilanjutkan terus menerus tanpa batas waktu karena harus berhenti pada penyebab pertama, yakni Tuhan sang Pencipta.
Argumen ontologi berisi bahwa kemampuan manusia Tuhan sang Pencipta memungkinkan mereka menganggap sesuatu hal terhebat yang bisa dibayangkan.
Namun keberadaan Tuhan dalam realitas lebih superior dibandingkan keberadaannya dalam pikiran, maka zat yang Agung (Tuhan) harus ada, baik dalam pikiran maupun realitas. Argumen teologis adalah argumen yang paling sederhana.
Gagasan dasar dalam argumen ini adalah ketidakmungkinan mengamati semua kerumitan, keagungan, dan keselaran (internal dan relasional) dari semua ciptaan tanpa memikirkan adanya sesosok pencipta yang kuat dan cerdas dibalik semua ciptaan tersebut.
argumen moral berhubungan dengan dua hal: ‘hukum moral manusia’ dan ‘kemenangan akhir di pihak yang baik’. Dengan demikian diperlukan Tuhan untuk memberi makna dan keputusan dalam kehidupan kita.
Argumen terakhir, pengalaman spritual adalah pengakuan terhadap keberadaan beragam pengalaman spiritual yang dilaporkan manusia.
Beberapa pandangan melihat bahwa argumen ini mengarah kepada keberadaan suatu sumber atau saluran spiritual yang nyata.
Menurut al-Sayyid Sabiq pengetahuan tentang Allah muncul dari dua pendekatan, yakni dari rasio/eksplorasi ilmiah dan dari pemahaman yang tepat atas nama-nama atau sifat-sifatnya.
Pemikiran rasional mengacu pada banyaknya perintah Allah untuk merenung (yatafakkaruun, QS 3: 191) dan memahami (ya’qiluun, QS 2: 242).
Sabiq menegaskan bahwa kepercayaan harus muncul dari pembuktian rasional. Ia juga mengutip argumen-argumen al-Qur’an yang menolak konformisme (taklid buta) yang merupakan sikap orang-orang kafir.
Ia juga menegaskan bahwa refleksi harus dilakukan terhadap ciptaan dan tanda-tanda keberadaan Tuhan(alam dan wahyu), bukan pada Tuhan sendiri.
Kajian ilmu dan sains juga tidak boleh berhenti pada bentuk dan materi fisiknya melainkan jauh sampai pada hakikatnya.
Menurut Ibnu Rusyd realitas wujud itu terdiri dari tiga prinsip: materi, bentuk, dan keseluruhan atau gabungan atas materi dan bentuk.
Keseluruhan materidan bentuk ini bersifat universalitas (mencakup esensi sekaligus materi). Berdasarkan kajian realitas tersebut, seseorang akan akan sampai pada Tuhan, mengenal keagungannya dan kemahakuasaanNya dan pengetahuan tentang Tuhan memang hanya dapat dicapai dengan mengkaji objek-objek riil alam ciptaannya.
Dalam upaya membuktikan wujud atau adanya Tuhan, Ibn Rusyd mengajukan tiga dalil: dalil al-Inayah, dalil al-Ikhtira’ dan dalil al-Harakah.
Pada dalil al-Inayah dinyatakan bahwa apabila manusia dengan akal pikirannya mau memperhatikan alam semesta ini, maka akan ditemukan adanya persesuaian antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
Dengan indah sekali Al-Quran surat al-Naba’ ayat 6 sampai 16 menyatakan betapa teratur dan harmonisnya hubungan antar makhluk yang bila direnungkan akan menimbulkan keyakinan adanya Pengatur semuanya itu.
Persesuaian dan keteraturan alam semesta ini bukan terjadi dengan sendiri atau secara kebetulan saja, tetapi menunjukkan adanya Dzat Pencipta dan Pengatur dan itulah Tuhan Allah.
Dalil al-Ikhtira’ menyatakan bahwa segala kejadian dan setiap jenis dan macam makhluk di dunia ini terdapat gejala yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya.
Namun semuanya berfungsi sebagaimana mestinya. Semakin tinggi tingkatan sesuatu maka semakin tinggi pula daya kemampuan serta tugasnya.
Hal ini mendorong manusia untuk menyelidiki rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya, sebagaimana tersurat dalam Al-Quran antara lain dalam surat al-Thariq ayat 5 dan 6.
Kesemua macam aneka ragam yang ada dalam alam semesta ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang ada yang menciptakan dan mengaturnya yaitu Tuhan.
Selanjutnya yang ketiga adalah dalil al-Harakah. Dalil ini jelas sekali adanya pengaruh dari Aristoteles yaitu tentang Penggerak Pertama (al-muharrik al-awwal) yang dipandang sebagai Penyebab Pertama(Prima Causa) adanya gerak.
Menurut Ibnu Rusyd, alam semesta ini bergerak secara teratur secara terus menerus dengan gerakan yang abadi. Gerakan ini menunjukkan adanya penggerak, sebab adal suatu yang mustahil bila benda bergerak dengan sendirinya.
Penggerak Pertama inilah yang namanya Tuhan, sungguhpun dia sendiri tidak bergerak.
Di antara dalil-dalil tersebut diatas ada yang persis sama dengan yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas(1225-1274) seperti yang ditulis oleh Harun Hadiwijono dalam bukunya Sari Sejarah Filsafat Barat I.
Menurut Ibn Rusyd, pembuktian atau dalil=dalil dari hasil penelitian lebih argumentatif dan lebih dapat diterima masyarakat, kaum terpelajar maupun umum.
Dengan demikian arah dan tujuan mempertemukan wahyu dengan rasio adalah dalam rangka mengenal eksistensi Tuhan, memahami keuasaan dan keagunganNya sehingga sebuah pengetahuan akan menambah keimanan terhadap Tuhan.
Validitas sebuah pengetahuan berkontribusi terhadap keimanan dan pengenalan Tuhan.
Mudabicara.com_ Bacaan Sholawat Maulid Simtudduror sering dikenal dengan sholawat Habsyi. Sholawat ini dibuat oleh seorang ulama dan penyiar agama Islam di daerah Jakarta dan sekitarnya yakni Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi.
Selain sebagai ulama besar Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi juga sebagai pendiri sekaligus pimpinan Majelis Taklim Kwitang.
Adapun judul lengkap Sholawat Maulid Simtudduror adalah imtudduror Fi Akhbar Maulid Khairil Basyar Min Akhlaqi Wa Aushaafi Wa Siyar.
Mudabicara.com_ Teori Emanasi merupakan salah satu teori utama bagi para filsuf muslim untuk menganalisis sekaligus menjelaskan berbagai fenomenan penciptaan alam.
Teori ini ingin menjelaskan fenomena ketuhanan tanpa harus mempertanyaan keesaan Tuhan. Bagi filsuf muslim “Yang Esa” hanya satu sedangkan yang lain adalah hal-hal yang pluralis.
Tokoh filsuf yang mengunakan teori emanasi dalam menjelaskan hubungan agama dan filsafat adalah Ibnu Rusyd. Lalu bagaimana analisis agama dan filsafat mengunakan teori emanasi Ibnu Rusyd, berikut ulasan selengkapnya.
Ibn Rusyd merupakan seorang filsuf muslim yang terkenal dan masyhur di Abad 12 Masehi. Ibn Rusyd bernama lengkap Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd.
Ia Lahir di kota Kordoba, Andalus (Spanyol) pada tahun 1126 M. Ibn Rusyd berasal dari keluarga bangsawan dan terpelajar sehingga dikenal sebagai orang yang mempunyai minat pada bidang keilmuan.
Ibn Rusyd pertama kali mendapatkan pendidikan di kota kelahirannya. Dalam proses belajar Ibn Rusyd mempelajari tafsir, hadist, fiqih, teologi, sastra Arab, matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan kedokteran.
Setelah menamatkan pendidikanya pada tahun 1159 M, Ibn Rusyd dipanggil gubernur Seville untuk membantu reformasi pendidikan disana. Ibn Rusyd sangat mumpuni dalam bidang hukum dan menjadi satu-satunya pakar soal khilafiyah dizamannya.
Dalam bukunya, Bidayah al-Mujtahid (ditulis tahun 1168 M) Ibnu Rusyd menguraikan tentang sebab – sebab munculnya perbedaan pendapat dalam hukum (fiqh) dan alasannya masing – masing. Karya tersebut merupakan karya terbaik dibidangnya.
Salah satu yang menonjol dari pandangan Ibnu Rusyd yang lain adalah menjelaskan hubungan agama dan filsafat mengunakan teori emanasi Ibnu Rusyd.
Teori Emanasi Ibnu Rusyd Tentang Alam dan Tuhan
Ibn Rusyd menggunakan teori emanasi sebagai dasar pergulatan pemikirannya untuk memahami relasi antara alam dan Tuhan.
Teori emanasi Ibn Rusyd berangkat dari pemahaman bahwa salah satu sifat Tuhan yang hakiki adalah kesempurnaan-Nya dan keesaan-Nya. Tuhan yang Esa inilah yang mengemanasikan alam semesta karena kesempurnaan-Nya.
Kesempurnaan dan ke-Esa-an Tuhan itu harus dilihat dari sisi perbuatan-Nya sejak azali. Karena kalo tidak dipahami demikian, maka ada saat di mana Tuhan harus mengatur pada zaman tertentu, sebelum Dia memutuskan diri untuk menciptakan alam semesta ini.
Terkait dengan ke-Esa-an Tuhan, Ibn Rusyd memahami bahwa yang melimpah dari Tuhan yang Esa tidak harus satu, tetapi juga lebih dari satu.
Adapun untuk mendukung pendapatnya ini, Ibn Rusyd mengungkapkan perbedaan mendasar antara Tuhan dengan manusia dalam melakukan suatu aktivitas atau perbuatan.
Ibn Rusyd mengatakan sesungguhnya ada perbedaan antara Pembuat Pertama (Tuhan) dengan pembuat yang nyata (manusia).
Dalam proses penciptaan, alam semesta ini melimpah dari Tuhan yang Esa. Tuhan tidak hanya melimpahkan yang satu saja, tetapi terdapat multiplisitas limpahan yang terjadi, sebagai efek multiple dari tindakan Tuhan yang Esa itu.
Menurut Ibn Rusyd, tindakan Tuhan semacam itu harus dibedakan dengan tindakan manusia. Manusia hanya mungkin melakukan sekali tindakan dengan satu efek tindakan yang telah dibuatnya. Tetapi untuk Tuhan, dengan sekali tindakan, dapat menghasilkan beragam efek dari tindakan yang telah diperbuat-Nya.
Dengan alasan ini, akhirnya Ibn Rusyd menolak pemahaman para pemikir teori emanasi pada umumnya yang menyatakan bahwa dari yang Satu, Esa, hanya melimpah satu.
Ibn Rusyd sekali lagi secara tegas mengatakan bahwa Tuhan dalam keharusan-Nya menyebabkan segala sesuatu secara serentak, tanpa ada perantara lain selain Dia.
Dalam bukunya, Tahafut-al-Tahafut, Ibn Rusyd menunjukkan bahwa pembuat yang Esa itu menyebabkan alam semesta dengan keanekaragaman realitas partikular di dalamnya.
Relasi Agama dan Filsafat Dalam Pandangan Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd berusaha mempertemukan agama dengan filsafat dengan membela keduanya. Dalam hal ini Ibnu Rusyd bertolak pada dua persoalan utama.
Pertama, pandangan syari’at terhadap hukum mempelajari logika dan filsafat dan kedua, metode memahami Al-Qur’an sebagai sumber asasi syari’at.
Langkah untuk menjawab kedua persoalan tersebut, Ibnu Rusyd menelusuri ayat-ayat al-Qur’an tentang hukum bagaimana mempelajari logika dan filsafat.
Ibn Rusyd menemukan bukti beberapa ayat yang menyerukan penggunaan akal untuk meneliti secara rasional argumentatif mengenai realitas materiil maupun non materiil sebagai representasi kreasi Tuhan.
Berdasarkan penemuan tersebut, Ibnu Rusy menyimpulkan bahwa syari’at menganjurkan manusia untuk mempelajari filsafat dan mencoba menggunakannya dalam meneliti realitas.
Hal tersebut dinilai sejalan dengan argument filsafatnya yang berpijak pada realitas alam nyata menuju realitas alam tidak nyata.
Semakin mendalam pemahaman filsafat seseorang, semakin dalam pula dia Tuhan karena realitas merpakan reperesentasi kreasi Tuhan.
Perbedaan Logika dan Filsafat
Ibnu Rusyd membedakan antara logika dan filsafat. Logika diposisikan sebagai alat filsafat, sedangkan filsafat diposisikan sebagai hasil dari kreasi logika.
Penegasan ini sejalan dengan pandangannya Aristoteles yang menjadikan logika sebagai alat filasafat, bukan sebagai bagian dari disiplin filsafat.
Hal itu terlihat dari konsep tentang pembagian ilmu pengetahuan. Aristoteles membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga jenis, yaitu pengetahuan praktis, pengetahuan teoritis, dan pengetahuan produktif.
Pengetahuan parkatis meliputi etika dan politik, pengetahuan teoritis meliputi fisika, metafisika dan matematika, dan pengetahuan Produktif meliputi pengetahuan yang menghasilkan karya tehnik produktif.
Apa yang diberikan langsung oleh panca indera terkadang menyesatkan dan menyeret pada kemungkaran. Walaupun demikian, mempublikasikan informasi yang diperoleh melalui nalar demonstratif kepada masyarakat umum adalah perbuatan yang menyalahi etika intelektual.
Masyarakat umum tidak mampu mencerna argumentasi demonstratif dengan baik sehingga argumentasi tersebut tidak akan membawa kejelasan kepada mereka, dan justru sebaliknya akan membawa pada keraguan. I
bnu Rusydberpendapat bahwa mempelajari filasafat bagi orang yang memiliki kemampuan meneliti alam secara demonstratifadalah wajib hukumnya menurut syar’iat.
Posisi Al-Qur’an Dalam Filsafat
Al-Qur’an merupakan sumber intelektualitas dan spritualitasIslam. Qur’an merupakan basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spritual tetapi bagi semua jenis pengetahuan.
Qur’an merupakan sumber utama inspirasi pandangan muslimtentang keterpaduansains dan pengetahuan spritual.
Al-Qur’an bukanlah kitab sains, tetapi ia memberikan pengetahuan tentang prinsip-prinsip sains, yang selalu dikaitkannya dengan pengetahuan metafisik dan spritual.
Panggilan al-Qur’an untuk “membaca dengan nama Tuhanmu” telah ditaati secara setia oleh setiap generasi muslim.
Perintah itu telah dipahamidengan pengertian bahwa pencarian pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah harus didasarkan padapondasi pengetahuan kita tentang realitas Tuhan.
Menurut Ibnu Sina, sains disebut sains yang sejati jikaia menghubungkan pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan tentang prinsip ilahi.
Ilmuwan-ilmuwan muslim atau para filusuf muslim akan percaya sepenuhnya bahwa sumber dari segala ilmu adalah Allah, Tuhan yang sering disebut Sang Kebenar (al-Haqq) atau ada juga yang menyebutnya The Ultimate Reality (realitas sejati).
Karena tujuan dari ilmu adalah untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yang berarti untuk mengetahui kebenaran sejati, maka Tuhan sebagai kebenaran sejati tentu merupakan sumber bagi segala kebenaran lainnya. Termasuk kebenaran atau realitas-realitas ilmu.
Dengan demikian, ilmuwan-ilmuwan muslim atau para filusuf muslim sepakat bahwa sumber ilmu atau lebih tepatnya sumber asl ilmu adalah Allah sendiri Sang Kebenaran.
Oleh karena itu, Menurut Ibnu Rusyd, relasi antara agama dan filsafat bukan satu hal yang perlu dipertentangkan sebab agama dan filsafat merupakan cara mencapai kebenaran yang sama. Di sisi lain agama dan filsafat percaya pada keabadian alam semesta.
Pada konteks agama dan filsafat juga menyatakan bahwa jiwa dibagi menjadi dua bagian, satu individu dan satu Tuhan, sedangkan setiap jiwa adalah tidak kekal, semua manusia di tingkat dasar dan berbagi satu sama ilahi jiwa.
Ibnu Rusyd mempunyai dua jenis Pengetahuan tentang kebenaran. Pertama adalah pengetahuan-Nya kebenaran agama yang berdasarkan iman dan dengan demikian tidak dapat diuji, dan tidak melakukan itu memerlukan pelatihan untuk memahami.
Kedua pengetahuan tentang kebenaran adalah filosofi yang dilindungi undang-undang untuk beberapa elit intelektual yang memiliki kemampuan untuk melakukan kajian ini.
Sekian penjelasan mengenai Teori Emanasi Ibnu Rusyd, terima kasih telah mengunjungi portal website mudabicara. Jika artikel ini bermanfaat, silahkan share artikel ini. Terima Kasih.
Mudabicara.com_ Bacaan Sholawat Mahalul Qiyam sering dilantunkan saat peringatan maulid nabi Nabi Muhammad SAW. Sholawat Mahalul Qiyam ini berisi tentang pujian terhadap Rasullah sebagai mana terdapat pada lirik pertama.
Biasanya pada peringatan maulid nabi orang melantukan Sholawat Mahalul Qiyam dengan cara berdiri dan tangan menengadah seoerti orang berdoa’a pada umumnya.
Lalu seperti apa lantunan Bacaan sholawat Mahalul Qiyam, berikut ulasannya.
Bulan purnama telah terbit menyinari kami, pudarlah purnama purnama lainnya Belum pernah aku lihat keelokan sepertimu, wahai orang yang berwajah riang
Engkau bagai matahari Engkau bagai bulan purnama, engkau cahaya di atas cahaya Engkau bagaikan emas murni yang mahal harganya, engkaulah pelita hati
Wahai kekasih wahai Muhammad, wahai pengantin tanah timur dan barat (sedunia) Wahai Nabi yang dikuatkan (dengan wahyu) wahai Nabi yang diagungkan, wahai imam dua arah kiblat
Siapapun yang melihat wajahmu pasti berbahagia, wahai orang yang mulia kedua orang tuanya Telagamu jernih dan dingin, yang akan kami datangi kelak di hari kiamat Belum pernah unta putih berbalur hitam berdenting berjalan malam hari, kecuali unta yang datang kepadamu
Awan tebal memayungimu, seluruh tingkat golongan manusia mengucapkan sholawat kepadamu Pohon pohon datang kepadamu menangis, bersimpuh merasa hina di hadapanmu
Kijang gesit datang memohon keselamatan, kepadamu wahai kekasih Ketika serombongan berkemas, dan menyerukan untuk berangkat Kudatangi mereka dengan berlinang air mata, seraya kuucapkan tunggulah wahai pemimpin rombongan
Bawakan aku surat, yang berisikan kerinduan mendalam Membawakan ke tempat yang jauh, ketika petang dan paginya Setiap orang di jagad raya ini bingung (karena sangat rindu), kepadamu wahai orang yang bersinar kedua keningnya
Mereka terpikat, tergila-gila dan meronta-ronta denganmu tentang sifatmu Para makhluk berbeda pendapat dan bingung (tidak mampu menyifati dengan sempurna)
Engkau adalah penutup para utusan, engkau adalah orang yang paling banyak bersyukur kepada Allah Hambamu (umatmu) yang miskin menghaap anugerahmu, yang banyak lagi merata
Bagi Warga Nahdliyyin bacaan sholawat Mahalul Qiyam tidak asing lagi diteingga sebab sholawat ini sering dilantunkan diberbagai acara dalam majelis sholawat.
Biasanya orang yang sering mengamalkan sholawat akan merasa hal berbeda saat membaca sholawat Mahalul Qiyam. Tiba-tiba merasa hawa jadi dingin dan suasana menjadi tenang meskipun dalam keadaan rame.
Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki mengatakan bahwa Imam Al-Barzanji dalam kitab Maulid-nya menyatakan:
”Sebagian para imam hadits yang mulia itu menganggap baik (istihsan) berdiri ketika disebutkan sejarah Nabi Muhammad SAW. Betapa beruntungnya orang yang mengagungkan Nabi dan menjadikan hal itu sebagai puncak tujuan hidupnya. (al-Bayan Watta’rif fi Dzikral Maulid an-Nabawi, hal. 29-30).
Di sisi lain ada hadist riwayat muslim yang berbunyi:
Dari Abi Said Al-Khudri, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat Ansor,” Berdirilah kalian untuk tuan kalian atau orang yang paling baik di antara kalian.”
2. Meningkatkan Keimanan Kepada Allah SWT
Salah satu obat hati ketika mengalami kebimbangan, kegelisahan serta kegalauan adalah dengan berkumpul dengan orang sholeh dan salah satunya adalah pecinta sholawat nabi.
Oleh karena itu, berkumpul dengan pencinta sholawat maka akan secara tidak langsung meningkatan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
3. Meningkatkan Kecintaan Kepada Nabi Muhammad SAW
Sebagai seorang muslim salah satu hal yang paling dirindukan adalah bertemu dengan kekasih Allah yakni nabi besar Muhammad Saw.
Selain itu seorang muslim nanti pada hari akhir serta hari pembalasan berharap mendapat pertolongan serta syafaat dari Nabi Muhammad SAW.
Cara mendapatkan hal tersebut adalah dengan bersholawat kepada nabi dengan dengan sholawat rasa kerinduan dan kecintaan tersebut akan tertanam dalam sanubari
Sekian penjelasan mengenai bacaan sholawat Mahalul Qiyam, terima kasih telah mengunjungi portal website mudabicara. Jika artikel ini bermanfaat, silahkan share artikel ini. Terima Kasih, Wallahu Alam
Mudabicara.com_ Kiai Haji M. Munnawir merupakan salah satu ulama besar yang menabur kebaikan dan menebar semerbak harum Al-Qur’an dimana pun beliau berada terutama di Tanah Jawa.
Selain itu, Kiai Haji M. Munnawir menelurkan ribuan Ulama Ahli Qur’an serta Huffadz Al-Qur’an yang tersebar dipenjuru Nusantara.
Tulisan biografi ini di tulis oleh Gus Zia Ul Haq pada laman blognya ziatuwel.blogspot.com berdasarkan saduran dari buku berjudul Mannaqibus Syaikh K.H.M Moenauwir Almarhum:Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Diterbitkan Oleh Majlis Ahlein (Keluarga Besar Bani Munnawir) Pesantren Krapyak, keluaran tahun 1975. Berikut ulasan mengenai sang maestro Al-Qur’an Kiai Haji M. Munnawir.
1. Nasab Kiai Haji M. Munnawir
Simbah Kiai Haji M. Munnawir merupakan putra K.H. Abdoellah Rosjad bin K.H. Hasan Bashori.
Dahulu, ada seorang ulama pejuang, K.H. Hasan Bashori namanya, atau yang lebih dikenal dengan nama Kyai Hasan Besari ajudan Pangeran Diponegoro.
Beliau sangat ingin menghapalkan Kitab Suci Al-Quran namun terasa berat setelah mencobanya berkali-kali. Akhirnya beliau melakukan riyadhoh dan bermujahadah, hingga suatu saat Allah swt mengilhamkan bahwa apa yang dicita-citakan itu baru akan dikaruniakan kepada keturunannya.
Begitu pula anak beliau, K.H. Abdoellah Rosjad, selama 9 tahun riyadhoh menghapalkan Al-Quran, ketika berada di Tanah Suci Makkah, beliau mendapat ilham bahwa yang akan dianugerahi hapal Al-Quran adalah anak-cucunya.
K.H. Abdoellah Rosjad dikaruniai 11 orang anak dari 4 orang istri, salah satunya adalah Kiai Haji M. Munnawir yang merupakan buah pernikahan beliau dengan Nyai Khodijah (Bantul).
Masa Belajar Kiai Haji M. Munnawir
Guru pertama beliau adalah Ayah beliau sendiri. Sebagai Targhib (penyemangat) nderes Al-Quran, Sang Ayah memberikan hadiah sebesar Rp 2,50 jika dalam tempo satu minggu dapat mengkhatamkannya sekali. Ternyata hal ini terlaksana dengan baik, bahkan terus berlangsung sekalipun hadiah tak diberikan lagi.
Kiai Haji M. Munnawir tidak hanya belajar Qiro’at (Bacaan) dan Menghafal Al-Quran saja, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang beliau timba dari Ulama-ulama di masa itu, di antaranya;
Setelah itu, pada tahun 1888 M. beliau melanjutkan pengajian Al-Quran serta pengembaraan menimba ilmu ke Haramain (Dua Tanah Suci), baik di Makkah Al-Mukarromah maupun di Madinah Al-Munawwaroh. Adapun Guru-guru beliau antara lain;
Syaikh Abdullah Sanqoro
Syaikh Syarbini
Syaikh Mukri
Syaikh Ibrohim Huzaimi
Syaikh Manshur
Syaikh Abdus Syakur
Syaikh Mushthofa
Syaikh Yusuf Hajar (Guru beliau dalam Qiro’ah Sab’ah)
Pernah dalam suatu perjalanan dari Makkah ke Madinah, tepatnya di Rabigh, beliau berjumpa dengan seorang tua yang tidak beliau kenal.
Pak Tua mengajak berjabat tangan, lantas beliau minta didoakan agar menjadi seorang Hafidz Al-Quran sejati. Lalu Pak Tua menjawab “Insyaa-Allah.” Menurut K.H. Arwani Amin (Kudus), orang tua itu adalah Nabiyullah Khidhr A.S.
Kiai Haji M. Munnawir ahli dalam Qiro’ah Sab’ah (7 bacaan Al-Quran). Dan salah satunya adalah Qiro’ah Imam ‘Ashim riwayat Imam Hafsh, berikut inilah Sanad Qiro’ah Imam ‘Ashim riwayat Hafsh Kiai Haji M. Munnawir sampai kepada Nabi Muhammad SAW. yakni dari;
Syaikh Abdulkarim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, dari
Syaikh Isma’il, dari
Syaikh Ahmad Ar-Rosyidi, dari
Syaikh Mushthofa bin Abdurrahman Al-Azmiri, dari
Syaikh Hijaziy, dari
Syaikh Ali bin Sulaiman Al-Manshuriy, dari
Syaikh Sulthon Al-Muzahiy, dari
Syaikh Saifuddin bin ‘Athoillah Al-Fadholiy, dari
Syaikh Tahazah Al-Yamani, dari
Syaikh Namruddin At-Thoblawiy, dari
Syaikh Zakariyya Al-Anshori, dari
Syaikh Ahmad Al-Asyuthi, dari
Syaikh Muhammad Ibnul Jazariy, dari
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Kholiq Al-Mishri As-Syafi’i, dari
Al-Imam Abi al-Hasan bin As-Syuja’ bin Salim bin Ali bin Musa Al-‘Abbasi Al-Mishri, dari
Al-Imam Abi Qosim As-Syathibi, dari
Al-Imam Abi al-Hasan bin Huzail, dari
Ibnu Dawud Sulaiman bin Najjah, dari
Al-Hafidz Abi ‘Amr Ad-Daniy, dari
Abi al-Hasan At-Thohir, dari
Syaikh Abi al-‘Abbas Al-Asynawiy, dari
‘Ubaid ibnu as-Shobbagh, dari
Al-Imam Hafsh, dari
Al-Imam ‘Ashim, dari
Abdurrahman As-Salma, dari
Saadaatina Utsman bin ‘Affan, ‘Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, ‘Ali bin Abi Tholib, dari
Rasulullah, Muhammad saw. dari Robbil ‘Aalamiin Allah swt., dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s.
Beliau menekuni Al-Quran dengan Riyadhoh, yakni sekali khatam dalam 7 hari 7 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam 3 hari 3 malam selama 3 tahun.
Lalu sekali khatam dalam sehari semalam selama 3 tahun, dan terakhir adalah Riyadhoh membaca Al-Quran selama 40 hari tanpa henti hingga mulut beliau berdarah karenanya.
Setelah 21 tahun menimba ilmu di Tanah Suci, beliau pun kembali ke kediaman beliau di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1909 M.
Akhlaq Kiai Haji M. Munnawir
Suasana Pondok pesantren Krapyak
Kiai Haji M. Munnawir selalu memilih awal waktu untuk menunaikan Sholat, lengkap dengan Sholat Sunnah Rawatibnya. Sholat Witir beliau tunaikan 11 Raka’at dengan hafalan Al-Quran sebagai bacaannya.
Begitu juga dalam mudawamah beliau terhadap Sholat Isyroq (setelah terbit Matahari), Sholat Dhuha dan Sholat Tahajjud.
Beliau mewiridkan Al-Quran tiap ba’da Ashar dan ba’da Shubuh. Walau sudah hapal, seringkali beliau tetap menggunakan Mushaf. Bahkan kemana pun beliau bepergian, baik berjalan kaki maupun berkendara, wirid Al-Quran tetap terjaga.
Beliau mengkhatamkan Al-Quran sekali tiap satu minggu, yakni pada hari Kamis Sore. Demikianlah beliau mewiridkan Al-Quran semenjak berusia 15 tahun.
Waktu siang beliau lewatkan dengan mengajarkan Al-Quran, dan di waktu senggang beliau masuk ke dalam kamar khusus (dahulu terletak di sebelah utara masjid) untuk bertawajjuh kepad Allah swt. Sedangkan di malam hari beliau istirahat secara bergilir di antara istri-istri dengan demikian adilnya.
Beliau memiliki 5 orang istri, adapun istri kelima, dinikahi setelah wafatnya istri pertama, yakni;
Nyai R.A. Mursyidah (Kraton Yogyakarta)
Nyai Hj. Sukis (Wates Yogyakarta)
Nyai Salimah (Wonokromo Yogyakarta)
Nyai Rumiyah (Jombang – Jawa Timur)
Nyai Khodijah (Kanggotan – Yogyakarta)
Begitulah Kiai Haji M. Munnawir hidup beserta keluarga di tengah ketenangan, kerukunan, istiqomah dan wibawa, dengan berkah Al-Quranul Kariim.
Orang hafal Al-Quran (Hafidz) yang beliau akui adalah orang yang bertakwa kepada Allah, dan Sholat Tarawih dengan hafalan Al-Quran sebagai bacaannya.
Begitu besar pengagungan beliau terhadap Al-Quran, sampai-sampai undangan Haflah Khotmil Quran hanya beliau sampaikan kepada mereka yang jika memegang Mushaf Al-Quran selalu dalam keadaan suci dari Hadats.
Pernah terjadi seorang santri asal Kotagede dengan sengaja memegang Mushaf Al-Quran dalam keadaan hadats. Setelah diusut oleh Kiai Haji M. Munnawir, akhirnya santri tersebut mengakuinya.
Atas pengakuannya, si santri dita’zir, kemudian dikeluarkan dari Pesantren dalam keadaan sudah menghapalkan Al-Quran 23,5 juz.
Setiap setengah bulan sekali, beliau memotong rambut, juga tak pernah diketahui membuka tutup kepala, selalu tertutup, baik itu dengan kopyah, sorban, maupun keduanya. Menggunting kuku selalu beliau lakukan tiap hari Jum’at.
Pakaian beliau sederhana namun sempurna untuk melakukan ibadah, rapi dan bersetrika. Jubah, sarung, sorban, kopyah dan tasbih selalu tersedia.
Pakaian dinas Kraton Yogyakarta selalu beliau kenakan ketika menghadiri acara-acara resmi Kraton. Untuk bepergian, beliau sering mengenakan baju jas hitam, sorban, dan sarung.
Beliau tidak suka makan sampai kenyang, terlebih lagi di bulan Ramadhan, yakni cukup dengan satu cawan nasi ketan untuk sekali makan.
Jika ada pemberian bantuan dari orang, beliau pergunakan sesuai dengan tujuan pemberinya, jika ada kelebihan, maka akan dikembalikan lagi kepada pemberinya.
Walau beliau termasuk dalam abdi dalem (anggota dalam) Kraton, namun beliau tidak suka mendengarkan pementasan Gong Barzanji. Sebagai hiburan, beliau senang sekali mendengarkan lantunan Sholawat-sholawat, Burdah dan tentunya Tilawatil Quran.
Para santri beliau perintahkan untuk berziarah di Pemakaman Dongkelan tiap Kamis Sore. Tiap berziarah, beliau membaca Surah Yasin dan Tahlil.
Apabila terjadi suatu peristiwa yang menyangkut ummat pada umumnya, beliau mengumpulkan semua santri untuk bersama-sama tawajjuh dan memanjatkan do’a kehadirat Allah, biasanya dengan membaca Sholawat Nariyyah 4444 kali atau Surat Yasin 41 kali.
Selain mengasuh santri, beliau tak lantas meninggalkan tugas sebagai kepala rumah tangga. Tiap ba’da Shubuh, beliau mengajar Al-Quran kepada segenap keluarga dan pembantu rumah tangga.
Nafkah dari beliau, baik untuk istri-istri maupun anak-anak, selalu cukup menurut kebutuhan masing-masing. Suasana keluarga senantiasa tenang, tenteram, rukun, dan tidak sembarang orang keluar-masuk rumah selain atas ijin dan perkenan dari beliau.
Hampir-hampir beliau tak pernah marah kepada santrinya, selain dalam hal yang mengharuskannya. Pernah suatu waktu beliau tiduran di muka kamar santri, tiba-tiba bantal yang beliau pakai diambil secara tiba-tiba oleh seorang santri, sampai terdengar suara kepala beliau mengenai lantai.
Lantas beliau memanggil santri yang mengambil bantal tadi seraya berkata; “Nak… saya pinjam bantalmu, karena bantal yang saya pakai baru saja diambil oleh seorang santri.”
Seringkali beliau memberikan sangu kepada santri yang mohon ijin pulang ke kampung halamannya, dan sangat memperhatikan kehidupan santri-santrinya.
Para santri pun dianjurkan untuk bertamasya ke luar pesantren, biasanya sekali tiap setengah bulan, sebagai pelepas penat.
Sebagai layaknya seorang Ulama, Kiai Haji M. Munnawir juga akrab dan sering mendapat kunjungan dari Ulama-ulama lain, di antaranya;
Murid-murid Syaikh Yusuf Hajar dari Madinah
K.H. Sa’id (Gedongan – Cirebon)
K.H. Hasyim Asy’ari (Jombang)
K.H.R. Asnawi (Kudus)
K.H. Manshur (Popongan)
K.H. Siroj (Payaman – Magelang)
K.H. Dalhar (Watucongol – Magelang)
K.H. Ma’shum (Lasem)
K.H.R. Adnan (Solo)
K.H. Dimyati (Tremas – Pacitan)
K.H. Idris (Jamsaren – Solo)
K.H. Abbas (Buntet – Cirebon)
K.H. Siroj (Gedongan – Cirebon)
K.H. Harun (Kempek – Cirebon)
K.H. Muhammad (Tegalgubuk – Cirebon)
Para Kyai dari Jombang dan Pare
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan IX
B.R.T. Suronegoro
K.H. Asy’ari (Wonosobo) yang merupakan teman semasa belajar di Tanah Suci.
Selain dikunjungi, beliau juga kerapkali mengadakan kunjungan balasan terhadap Para Ulama yang lain, seperti kepada K.H. Hasyim Asy’ari (Jombang), K.H. Ahmad Dahlan (Yogyakarta), maupun yang lainnya.
Beliau juga mendapat kepercayaan dari pihak Kraton untuk menjadi anggota JEMANGAH, yakni jama’ah Sholat tetap yang terdiri dari 41 orang Ulama, dimaksudkan sebagai penolak bencana Negara.
Dakwah Kiai Haji M. Munnawir
Masjid Al-Munawwir Lama Pondok Pesantren Krapyak sebelum direnovasi, kini sudah direhab akibat gempa bumi
Sepulang dari Makkah pada tahun 1909 M., beliau lantas mendakwahkan Al-Quran di sekitar kediaman beliau di Kauman. Tepatnya di sebuah langgar kecil milik beliau, tempat tersebut sekarang sudah menjadi Gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta.
Lantas pindah ke Gading, tinggal bersama kakak beliau, K.H. Mudzakkir. Namun karena berbagai sebab, juga atas saran dari K.H. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon), pada tahun 1910 M.
Beliau pun hijrah ke Krapyak setelah selesainya pembangunan tempat tinggal dan komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.
Pada 15 November 1910, Pesantren Krapyak mulai ditempati untuk mengajar Al-Quran. Dilanjutkan dengan pembangunan Masjid atas prakarsa K.H. Abdul Jalil.
Konon, K.H. Abdul Jalil dalam memilih tempat untuk pembangunan masjid, adalah dengan menggariskan tongkatnya di atas tanah sehingga membentuk batas-batas wilayah yang akan dibangun masjid. Dengan Kehendak Allah, wilayah yang dilingkupi garis itu tidak ditumbuhi rumput.
K.H.M. Moenauwir selalu mengerahkan segenap santri untuk melakukan amaliyah membaca Surah Yasin tiap selesai pembangunan berlangsung.
Pembangunan terus berlanjut secara bertahap, mulai dari masjid, akses jalan, dan gedung komplek santri hingga tahun 1930 M.
Di Pesantren Krapyak inilah beliau memulai berkonsentrasi dalam pengajaran Al-Quran. Para santri sangat menghormati beliau, bukan karena takut, melainkan karena Haibah, wibawa beliau.
Pengajian pokok yang diasuh langsung oleh K.H.M. Moenauwir adalah Kitab Suci Al-Quran, yakni terbagi atas 2 bagian; BIN-NADZOR (membaca) dan BIL-GHOIB (menghafal).
Santri bermula dari Surat Al-Fatihah, lantas Lafadz Tahiyyat sampai dengan Shalawat Aali Sayyidina Muhammad, kemudian Surat An-Nas sampai Surat An-Naba’, baru kemudian Surat Al-Fatihah diteruskan ke Surat Al-Baqoroh sampai khatam Surat An-Nas.
Selain itu, pengajian Kitab-kitab juga digelar sebagai penyempurna. Suatu hari pada tahun 1910, seorang santri dari Purworejo, yang dianggap mampu oleh beliau, diperintahkan; “Ajarkanlah ilmu Fiqh kepada santri-santri di hari Jum’at, biarlah mereka mengenal air.”
Begitu seterusnya berkembang, baik kitab Fiqh maupun Tafsir, makin menonjol disamping Pengajian Al-Quran yang utama. Beliau mengajar secara sistem MUSYAFAHAH, yakni sorogan, tiap santri langsung membaca di hadapan beliau, jika ada kesalahan beliau langsung membetulkannya.
Adab (Tata Krama) dalam pengajian Al-Quran sangat beliau tekankan kepada para santri. Berbagai aturan dan ta’ziran beliau berlakukan terhadap para santri.
Untuk santri yang telah khatam, maka dipanjatkanlah doa untuknya langsung oleh Kiai Haji M. Munnawir, lantas diberikanlah baginya sebuah Ijazah, yang intinya berisi pengakuan Ilmu dari guru kepada muridnya serta Tarottubur-Ruwat (Urutan Riwayat) atau Sanad dari Sang Guru sampai kepada Rasulullah saw. secara lengkap.
Banyak di antara murid-murid beliau yang juga meneruskan perjuangan di kampung masing-masing, berupa mendakwahkan Islam pada umumnya, dan pengajaran Al-Quran pada khususnya. Misal;
K.H. Arwani Amin (Kudus)
K.H. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
K.H. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
Untuk para Mutakhorrijiin (Alumni), beliau senantiasa menjalin hubungan dan bimbingan, bahkan berupa kunjungan ke tempat masing-masing.
Karomah Kiai Haji M. Munnawir
1. K.H. Abdullah Anshor (Gerjen – Sleman) mengetahui beliau wafat, maka menangislah ia, serta mengatakan tak kerasan lagi hidup di dunia tanpa beliau. Setelah pulang ke rumah, K.H. Abdullah langsung menyusul pulang ke Rahmatullah.
2. Kyai Aqil Sirodj (Kempek – Cirebon) di kala masih berusia sekitar 8 tahun belum bisa mengucap dengan jelas bunyi “R”. Namun setelah minum air bekas cucian tangan beliau, langsung dapat membaca “R” dengan jelas.
3. Kala mengajar, biasanya beliau sambil tiduran, bahkan kadang benar-benar tertidur. Namun bila ada santri yang keliru membaca, beliau langsung bangun dan mengingatkannya.
4. Saat baru berusia 10 tahun, beliau berangkat mondok kepada K.H. Cholil di Bangkalan, Madura. Sampai di sana, saat akan dikumandangkan iqomah, K.H. Cholil tidak berkenan menjadi imam shalat seraya berkata; “Mestinya yang berhak menjadi imam shalat adalah anak ini (yakni Kiai Haji M. Munnawir), walaupun ia masih kecil, tetapi ahli qiro’ah.”
5. Sewaktu awal di tanah suci, beliau mengirimkan surat kepada ayahnya, menyatakan niat untuk menghapalkan al-Quran. Namun ayah beliau belum memperkenankannya, sehingga berniat mengirimkan surat balasan. Namun, belum sempat mengirimkan surat balasan, sang Ayah sudah mendapat surat kedua dari putranya yang menyatakan bahwa ia sudah terlanjur hapal. Dihapalkannya dalam waktu 70 hari (keterangan lain menyatakan 40 hari). Dan banyak lagi.
Maqolah Kiai Haji Munnawir
Sebuah Hadits Riwayat Abi Hurairah bahwa Nabi Muhammad saw., bersabda; “Yaa Aba Hurairah, pelajarilah Al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain. Tetaplah engkau seperti itu hingga mati. Sesungguhnya jikalau kamu mati dalam keadaan seperti itu, malaikat berhaji ke kuburmu sebagaimana kaum Mukminin berhaji ke Baitullah al-Haram.
Sebuah sya’ir; “Semua ilmu termuat di dalam Al-Quran – Hanya saja orang-orang tak mampu memahami seluruh kandungannya.”
“Jikalau engkau bermaksud akan sesuatu, maka bacalah Surah Yasin.”
“Kalau mengaji Al-Quran, maka kajilah sampai khatam, supaya menjadi orang mulya.
“Waktu luang yang tidak digunakan untuk nderes Al-Quran adalah kerugian yang besar.”
“Setelah seseorang hafal Al-Quran, maka haruslah ia TIDAK suka omong kosong dan TIDAK menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja mencari dunia.”
“Wahai putera dan menantuku yang mempunyai tanggungan al-Quran, apabila kalian belum lancar benar, maka jangan sampai merangkap apapun, baik berdagang ataupun lainnya.”
“Orang hafal Al-Quran berkewajiban memeliharanya, maka dari itu jangan melakukan hal-hal -termasuk menuntut ilmu- yang tidak fardhu, sekiranya dapat menyebabkan hafalannya hilang.”
“Kalau kamu tidak mengaji Qiro’ah Sab’ah kepadaku, maka mengajilah kepada Arwani Amin Kudus.”
“Buah Al-Quran adalah kebahagiaan dunia dan akhirat.”
Beliau berkata kepada K.H. Basyir; “Marilah uzlah seperti saya, guna mengajarkan al-Quran. Kalau kita memikirkan harta dunia, maka akan binasalah Al-Quran nanti.”
Beliau berkata kepada putri beliau, Nyai Hindun; “Orang hafal Al-Quran, mengamalkan isi kitab Majmu’ dan Mudzakarot, insyaAllah menjadi orang shalihah.”
Beliau tidak mengijinkan santri-santrinya menjadi Pegawai Negeri Pemerintah Penjajah pada waktu itu.
Beliau menyampaikan apa yang pernah diterima dari guru beliau, K.H. Cholil Bangkalan; “Apabila hidayah tiba, permusuhan pun musnah. Jadilah engkau bagaikan Air, dibutuhkan oleh siapa dan apa saja. Jika tidak begitu, maka jadilah seperti Batu, tidak ada bahaya maupun manfaat (secara aktif –red). Janganlah engkau laksana Kalajengking, siapa melihat maka ia pun takut.”
“Seyogyanya engkau hadiahkan berkah Surah al-Fatihah kepada segenap kaum Muslimin yang masih hidup, lebih-lebih diwaktu tertimpa marabahaya atau berperangai buruk, barangkali dapat menjadi obatnya. Sebagaimana guru saya K.H. Cholil pernah mengajarkan; (di nomor 16)
Beliau menyampaikan apa yang disampaikan guru beliau, K.H. Cholil; “Teman-teman sekalian, jikalau engkau menghadiahkan berkah surat al-Fatihah jangan hanya kepada Muslimin yang sudah meninggal saja, tetapi juga yang masih hidup. Syukurlah jika kepadaku juga. Sebab Nabi Muhammad saw. pernah bersabda; ‘UDDA NAFSAKA MIN AHLIL QUBUUR (anggaplah dirimu termasuk ahli Qubur).”
“Apabila engkau memohon kepada Allah, maka mohonlah Kesejahteraan (‘Aafiyah).”
“Kelak di akhir jaman, Shin akan menguasai seluruh daerah.”
Sebuah sya’ir; “Aku tak bisa mendapatkan kembali apa yang telah meninggalkan diriku, baik dengan LAHFA (kalau), dengan LAYTA (seandainya), ataupun dengan LAW-INNI (andaikan saya).”
“Selama saya masih hidup, puteraku yang lelaki selalu saya suruh memakai kopyah. Sedangkan yang perempuan segera saya carikan jodoh, tak usah menunggu orang lain yang datang melamarnya.”
Wafat dan Penerus Kiai Haji M. Munnawir
Sebagaimana manusia pada umumnya, Kiai Haji M Munnawir menderita sakit selama 16 hari. Pada mulanya terasa ringan, namun lama-kelamaan semakin parah. Tiga hari terakhir saat beliau sakit, beliau tidak tidur.
Selama sakit, selalu berkumandanglah bacaan Surah Yasin 41 kali yang dilantunkan oleh rombongan-rombongan secara bergantian. Satu rombongan selesai membaca, maka rombongan lain menyusulnya, demikian tak ada putusnya.
Akhirnya, beliau, Kiai Haji Munnawir wafat Ba’da Jum’at tanggal 11 Jumadil Akhir tahun 1942 M. di kediaman beliau di komplek Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Di kala beliau menghembuskan nafas terakhir, ditunggui oleh seorang putri beliau, Nyai Jamalah, yakni ketika rombongan pembaca Surah Yasin belum hadir.
Sholat Jenazah dilaksanakan bergiliran lantaran banyaknya orang yang bertakziyyah. Imam shalat jenazah kala itu adalah K.H. Manshur (Popongan – Solo), K.H.R. Asnawi (Bendan – Kudus), dan besan beliau K.H. Ma’shum (Suditan – Lasem).
Beliau tidak dimakamkan di kompleks Pesantren Krapyak, melainkan di Pemakaman Dongkelan, yakni sekitar 2 km dari kompleks Pesantren.
Dan sepanjang jalan itulah, terlihat Kaum Muslimin dari berbagai golongan penuh sesak mengiring dan bermaksud mengangkat jenazah beliau, sampai-sampai keranda jenazah beliau cukup ‘dioperkan’ dari tangan ke tangan yang lain, sampai di Pemakaman Dongkelan.
Jenazah Kiai Haji M. Munnawir dikebumikan di sana, dan selama lebih dari seminggu pusara beliau selalu penuh dengan penziarah dari berbagai daerah untuk membaca Al-Quran.
Beliau wafat meninggalkan Pesantren yang merupakan tonggak pemisah suasana. Suasana sebelum dibangun pesantren, Krapyak dikenal sebagai tempat rawan, penuh kegelapan, abangan dan sedikit yang menjalankan ajaran Islam.
Bersamaan dengan didirikannya Pesantren, banyak pula usaha busuk dari golongan-golongan Klenik yang dengki dan selalu merintangi perintisan Pesantren.
Namun upaya-upaya itu musnah, dan suasana gelap beralih menjadi ramai dan meriah dengan alunan Ayat-ayat Suci Al-Quran dengan segala konsekuensinya.
Penerus Kiai Haji Munnawir
Almarhum K.H.M. Moenauwir berwasiyat, agar keluarga melanjutkan perjuangan Pesantren, tepatnya kepada 2 orang putra dan 4 orang menantu. Akan tetapi karena beberapa udzur, perjuangan Pesantren dikawal secara langsung oleh 3 tokoh yang dikenal sebagai Tiga Serangkai;
(1) K.H.R. Abdullah Affandi
K.H.R. Abdullah Affandi (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Di samping menangani pengajian Al-Quran, beliau juga mengurusi hubungan Pesantren dengan dunia luar. Beliau wafat pada 1 Januari 1968.
(2) K.H.R. Abdul Qodi
K.H.R. Abdul Qodir (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Pada tahun 1953, para santri penghafal al-Quran dikelompokkan menjadi satu dalam sebuah wadah, yakni Madrasatul Huffadz yang disponsori oleh K.H.R. Abdul Qodir, dibantu K.H. Mufid Mas’ud (menantu K.H.M. Moenauwir), Kyai Nawawi (menantu K.H.M. Moenauwir) dan Hasyim Yusuf dari Nganjuk. Ada 2 sistem yang ditempuh di Madrasatul Huffadz;
Pertama, adalah Sistem Perseorangan, yakni Kyai menurut kepada santri untuk menghafalkan suatu ayat, surat maupun juz.
Kedua, adalah Sistem Jama’ah Mudarosah, yakni seorang santri disuruh menghafal suatu ayat, surat atau juz, kemudian membacanya lantas berhenti dan dilanjutkan oleh santri yang lain, demikian sampai khatam 30 juz.
Untuk mentash-hih kembali hafalan santri-santri yang sudah khatam, maka diharuskan melakukan ‘Ardloh secara Musyafahah sampai tiga kali khatam.
Untuk menguji kelancaran hafalan, adalah dengan dibacanya suatu ayat oleh Kyai dan santri disuruh melanjutkannya. Begitu pula ditanyakan kepada santri tentang letak ayat tersebut dalam surat apa, halaman berapa, bagian mana, lembar kiri atau kanan, ayat nomor berapa, sampai surat baru masih berapa ayat lagi.
Seperti itulah seluk beluk menghafalkan Al-Quran di Madrasatul Huffadz saat itu. Setelah hafal seluruh Al-Quran, maka selama 41 hari dilanjutkan Mudarosah (nderes) dengan mengkhatamkan 41 kali juga.
K.H.R. Abdul Qodir wafat pada 2 Februari 1961
(3) K.H. ‘Ali Ma’shum
K.H. ‘Ali Ma’shum(menantu beliau asal Lasem, suami dari Nyai Hj. Hasyimah). Beliau sudah turut mengasuh Pesantren sejak 1943, beliau adalah perintis dan pengasuh pengajian Kitab-kitab selepas K.H.M. Moenauwir wafat, yakni sejak kepulangan beliau dari Tanah Suci dalam rangka menimba ilmu.
Dalam penyelenggarannya, beliau menerapkan beberapa sistem, yakni Sistem Madrasi (Klasik) dan Sistem Kuliyah, yang masing-masing dilengkapi dengan Pengajian Sorogan (individual).
Adapun Pengajian Sorogan ini, beliau berlakukan dengan model Semi-Otodidak, yakni dengan ditentukannya suatu kitab oleh K.H. ‘Ali Ma’shum untuk dikaji seorang santri.
Tiap sore hari, santri tersebut harus menghadap beliau untuk membaca kitab. Dalam hal ini, santri harus berusaha mempelajarinya sendiri, baik dalam cara membaca maupun menela’ah maknanya, baik dengan bertanya maupun berdiskusi dengan rekan dan kitab yang sudah ada maknanya.
Sedangkan K.H. ‘Ali Ma’shum cukup menyimak bacaan santri sambil mengajukan beberapa pertanyaan, dan membenarkan jika ada kesalahan membaca maupun memahami isinya.
Dengan sistem ini, beliau maupun santri telah banyak menghemat waktu serta membuahkan hasil yang memuaskan lagi cermat.
K.H. ‘Ali Ma’shum wafat pada 1989.
Demikianlah estafet kepemimpinan Pesantren terus bergulir, semakin berkembang seiring bertambahnya usia, baik dalam metode maupun corak Pesantren, namun tak lepas dari sentuhan khas salafiyahnya.
Dan tentunya, tetap berkonsentrasi pada misi awal yang dirintis Sang Muassis (Pendiri), yakni membumikan Al-Quran, memasyarakatkan Al-Quran dan meng-al-Quran-kan masyarakat.
Tahun depan, yakni tahun 2011, tepatnya 11 Jumadil Akhiroh 1432 H., insyaAllah akan digelar hajatan besar, berupa Gelaran Satu Abad Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, sekaligus memperingati Haul al-Marhum al-Maghfurlah Syaikhuna Kiai Haji M. Munnawir Sang Maestro Al-Quran Nusantara.
Semoga dengan dikenangnya Seorang Shalih Kiai Haji M. Munnawir lewat dunia maya ini, Allah Ta’ala berkenan melimpahkan Rahmatnya kepada kita semua. Selamat menikmati dan membaca
Rabu, 15 Ramadhan 1431 / 25 Agustus 2010
Krapyak, Yogyakarta